Latar Belakang Permasalahan

Indonesia sudah sejak lama dikenal sebagai salah satu negara penghasil minyak dan gas bumi (selanjutnya disebut migas dalam makalah ini) yang utama di dunia. Tahun 1970 adalah masa dimana terjadi bonanza harga minyak dunia yang mengakibatkan Indonesia, yang waktu itu perekonomian-nya bergantung pada sektor migas, mendapat penerimaan negara yang besar dari kontrak bagi hasil (Production Sharing Contract, selanjutnya disebut sebagai PSC dalam makalah ini) dengan bentuk usaha tetap (kontraktor) minyak multinasional, seperti Exxon Mobil, Shell, dan lain sebagainya.

Meskipun tidak lagi menjadi tumpuan utama perekonomian Indonesia, kini sektor migas masih merupakan salah satu penyumbang yang signifikan bagi penerimaan negara bukan pajak, yang mana tahun 2009 direncanakan dapat mencapai Rp. 162 triliun.[1] Selain itu, dari sektor migas juga dapat diperoleh penerimaan negara berupa pajak yang sangat signifikan sumbangannya bagi penerimaan negara berupa Pajak Penghasilan (selanjutnya disebut sebagai PPh dalam makalah ini), yang mana penerimaan negara dari PPh adalah penerimaan terbesar negara, yaitu tahun 2009 diproyeksikan mencapai Rp. 357 triliun dari Rp. 725,8 triliun total penerimaan negara berupa pajak.[2]

Proyeksi tersebut disokong dengan naiknya produksi minyak mentah yaitu rata-rata produksi minyak bumi dan kondensat mencapai 963.269 barrel per hari (bph) atau lebih tinggi 0,34 persen dibanding target produksi dalam APBN 2009 sebesar 960.000 bph[3] dan produksi gas Indonesia yang diperkirakan pada tahun 2009 akan bertambah sebesar 788,8 juta standar kaki kubik per hari (mmscfd) pada 2009.[4]

Atas dasar hal tersebut maka sektor migas memegang peranan penting dalam peningkatan pendapatan negara, baik yang murni dari perolehan crude oil hasil split dari PSC maupun yang didapat dari PPh yang dikenakan kepada baik badan usaha dalam negeri maupun bentuk usaha tetap dari pendapatan yang didapat dari PSC. PPh migas tersebut merupakan salah satu andalan dari penerimaan negara berupa pajak dari PPh.

Pada dasarnya, selain PPh, masih terbuka kemungkinan lain negara mendapat tambahan pendapatan dari pajak sektor migas, yaitu dengan memberlakukan pengenaan pajak dengan natura, windfall profit tax, dan farm in-farm out tax. Ketiganya sampai saat ini belum dapat dikenakan kepada pelaku usaha di sektor migas, khususnya kepada bentuk usaha tetap raksasa, seperti Exxon Mobil, Shell, British Petroleum, dan lain-lain, karena belum ada undang-undang yang menjadi dasar untuk dilaksanakan.

Dalam membahas mengenai perolehan pajak di sektor migas selain PPh perlulah kiranya untuk membandingkan dengan kebijakan perpajakan di Amerika Serikat dan Venezuela yang cukup sukses menambah pendapatan-nya di sektor pajak selain PPh, khususnya pengenaan windfall profit tax. Kesuksesan negara-negara di dunia sekiranya dapat menjadi pemicu bagi Pemerintah Indonesia untuk dapat terus meningkatkan pendapatannya berupa pajak dari sektor usaha migas. Hal tersebut dilakukan agar tujuan dari pajak, yaitu untuk dipergunakan bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat, dapat terlaksana dengan maksimal.

Pokok Permasalahan

Atas dasar latar belakang permasalahan tersebut, maka terdapat beberapa pokok permasalahan dalam makalah ini, yaitu:

  1. Bagaimana pemungutan pajak minyak dan gas bumi yang dikenakan kepada Kontraktor PSC di Indonesia pada saat ini?
  2. Bagaimana potensi-potensi pemungutan pajak di sektor usaha minyak dan gas bumi selain pajak penghasilan?
  3. Bagaimana perbandingan mengenai pengaturan pemungutan pajak di negara lain?

Dasar Filosofis dan Konstitusional Pengenaan Pajak di Sektor Usaha Migas

Pada dasarnya dasar filosofis dan dan dasar konstitusional pengenaan pajak di sektor migas sama dengan dasar filosofis pengenaan pajak pada umumnya. Sebagai dasar filosofis adalah Sila keempat Pancasila, dan sebagai dasar konstitusional adalah pasal 23A UUD 1945.

Pancasila sebagai ideologi bangsa, sebagai way of life dari bangsa Indonesia. Bung Karno, Proklamator dan Presiden pertama Republik Indonesia, pernah mengatakan bahwa Pancasila hadir sebagai kepribadian bangsa Indonesia. Segala macam tindakan yang dilakukan oleh seluruh elemen bangsa Indonesia, baik yang merupakan masyarakat atasan maupun masyarakat bawahan, wajib untuk disesuaikan dengan sila-sila yang ada di dalam Pancasila.

Sila keempat berbunyi, “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan”. Sila tersebut menunjukkan, apabila dikaitkan dengan pengenaan pajak, khususnya pajak di sektor usaha migas,  bahwa pemungutan pajak sah apabila wakil-wakil rakyat yang ada di lembaga legislatif telah menyatakan bahwa pemungutan pajak tersebut diberlakukan. Karena dengan sila ini, kedaulatan atas rakyat terhadap kebijakan pemungutan pajak memegang peranan penting.

Sila keempat tersebut telah termanifestasikan dalam pasal 23A UUD 1945, yang berbunyi, Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang. Hal ini sesuai dengan prinsip kedaulatan rakyat sebagaimana sila keempat, Pemerintah tidak diperkenankan memaksakan berlakunya suatu ketentuan yang mengikat rakyat, yang bersifat mengurangi arti kebebasan dan membebani rakyat dengan kewajiban materiel tertentu yang mengurangi arti kebebasan, kecuali ketentuan tersebut disepakati oleh wakil-wakil rakyat di DPR.

Tampaknya dasar filosofis, yang nantinya akan menjadi dasar bagi dasar konstitusional, pemungutan pajak di Indonesia, sama dengan seperti dasar filosofis yang dianut di Inggris, yaitu “No Taxation Without Representation”, dan dasar filosofis yang dianut Amerika Serikat, yaitu “Taxation Without Representation is Robery”.[5]

Untuk selanjutnya, sebagaimana amanat konstitusi, pengenaan pajak, khususnya pajak disektor usaha migas, harus dilakukan dengan undang-undang, sebagai hukum tertulis yang mendasarinya.

Dasar Hukum Pemungutan Pajak di Sektor Usaha Migas yang Diterapkan Indonesia

Untuk menciptakan kepastian hukum, pemungutan pajak dipungut harus berdasarkan hukum tertulis, yaitu undang-undang. Hingga saat ini, undang-undang perpajakan di Indonesia hanya menentukan PPh sebagai pajak yang dikenakan pada pelaku usaha di sektor usaha migas, yang pada umumnya merupakan badan usaha yang berbentuk Bentuk Usaha Tetap (selanjutnya disebut sebagai “kontraktor” dalam makalah ini).

Di Amerika Serikat PPh untuk perusahaan asing yang beroperasi di Amerika Serikat dibagi menjadi dua bagian, yaitu: Pajak atas penghasilan perusahaan asing yang beroperasi di Amerika Serikat yang tidak terkait dengan bisnis dari pemerintah Amerika Serikat dan pajak atas penghasilan perusahaan asing yang beroperasi di Amerika Serikat yang terkait dengan bisnis dari pemerintah Amerika Serikat.[6]

Dasar hukum mengenai pemungutan pajak menjadi penting karena pengenaan PPh kepada kontraktor di sektor usaha migas, terkait erat dengan besarnya bagian kontraktor tersebut dan besarnya bagian negara atau pemerintah dari pembagian hasil produksi minyak dan gas bumi antara negara dan kontraktor.[7]

Besarnya PPh sebuah bentuk usaha tetap pada awalnya sebesar 56 %, namun pada tahun 1984, Indonesia mengeluarkan peraturan pajak baru yang menetapkan PPh dalam PSC adalah sebesar 48 % dan diberlakukan untuk PSC yang ditandatangani sejak tahun 1988.[8] Dan kini, sejak disahkannya UU No. 36 tahun 2008, yang menyebutkan bahwa pajak untuk bentuk usaha tetap adalah sebesar 28 %.[9]

Kemudian, untuk PSC yang ditandatangani setelah tahun 2000, sesuai dengan UU PPh, ditentukan bahwa tariff PPh yang diberlakukan adalah sebesar 44 %. Hal ini ditetapkan dengan pertimbangan bahwa kontraktor migas merupakan suatu bentuk usaha tetap, sehingga PPh yang harus dibayar adalah 30 % x penghasilan bersih + 20 % x (70 % dari penghasilan bersih), sehingga beban pajaknya adalah 44 % dari penghasilan bersih. PPh langsung dibayarkan oleh kontraktor kepada pemerintah.

Beberapa peraturan perundang-undangan dan peraturan-peraturan teknis lainnya yang menjadi dasar dikenakannya PPh dan mengenai pajak-pajak lainnya di sektor usaha migas kepada kontraktor PSC, antara lain:

  1. Undang-Undang No. 6 tahun 1984 sebagaimana telah diubah terakhir kali dengan UU No. 16 tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (selanjutnya disebut sebagai “UU KUP” dalam makalah ini),
  2. UU No. 7 tahun 1984 sebagaimana telah diubah terakhir kali dengan UU No. 36 tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan (selanjutnya disebut sebagai “UU PPh” dalam makalah ini),
  3. Peraturan Pemerintah Nomor 35 tahun 1994 tentang Syarat-Syarat dan Pedoman Kerjasama Kontrak Bagi Hasil Minyak dan Gas Bumi (selanjutnya disebut sebagai PP No. 35 tahun 1994),
  4. Keputusan Menteri Keuangan No. 242/PMK.011/2008 tentang Pajak Pertambahan Nilai ditanggung Pemerintah atas Impor Barang untuk usaha eksplorasi hulu minyak dan gas bumi serta panas bumi tahun anggaran 2009 (selanjutnya disebut sebagai “Kepmen No. 242/2008” dalam makalah ini)
  5. Surat Edaran Menteri Keuangan No.SE-24/PJ.6/1999 perihal Petunjuk Pengenaan PBB Sektor Pertambangan Minyak dan Gas Bumi (selanjutnya disebut sebagai “SE No.24/1999” dalam makalah ini).

Prinsip-Prinsip Penghitungan Pajak di Sektor Usaha Migas

Beberapa prinsip-prinsip pengenaan pajak di sektor usaha migas antara lain:

  1. Prosentase pembagian adalah angka akhir setelah dipotong pajak dan perhitungan cost recovery”. Hasil produksi setelah dikurangi biaya operasi dibagi antara negara dan kontraktor dengan pembagian umumnya 85 % untuk negara dan 15 % untuk kontraktor pada hasil produksi minyak. Selain itu terdapat pola pembagian, 65 % untuk negara dan 35 % untuk kontraktor pada hasil produksi gas.[10]
  2. Kontraktor wajib membayar PPh secara langsung kepada pemerintah Indonesia, sebelumnya pajak penghasilan dibayarkan oleh pertamina atas nama kontraktor kepada pemerintah.
  3. Dalam kontrak bagi hasil yang lama, bagi hasil diterapkan adalah 85 %:15% dengan tariffpajak yang berlaku pada umumnya adalah 48 %. Dengan demikian pembagian pendapatan antara negara dan kontraktor adalah 71,5 % dan 28,85 % , sehingga setelah dikurangi kewajiban pajak dan pengembalian biaya operasi pembagian tetap 85% dan 15%. Contoh perhitungan:
    1. Hasil produksi minyak                          : 1000
    2. Cost Recovery                                        : 350
    3. Equity to be split (ETBS)                     : 650 (1000-350)
    4. Bagian negara sebelum pajak              : 71,15% x 650=462,5
    5. Bagian kontraktor sebelum pajak       : 28,85 x 650=187,5
    6. Pajak                                                       : 90 (48% x 187,5)
    7. Bagian kontraktor setelah pajak         : 187,5–90=97,5 (15% ETBS)
    8. Bagian negara setelah pajak                :462,5+90=552,5(85%ETBS)

Atas dasar ketentuan UU PPh tahun 2000, dimana tariff PPh untuk kontraktor sebagai bentuk usaha tetap adalah sebesar 44 %, maka pembagian pendapatan antara negara dan kontraktor adalah sekitar 73,15 % dan 26,85% sehingga setelah dikurangi pembayaran kewajiban pajak dan pengembalian biaya operasi (cost recovery), pembagian tetap menjadi 85 % dan 15 %. Contoh penghitungannya adalah sebagai berikut:

  1. Hasil produksi minyak                        : 1000
  2. Cost Recovery                                      : 350
  3. Equity to be split (ETBS)                   : 650 (1000-350)
  4. Bagian negara sebelum pajak             : 71,15% x 650=462,5
  5. Bagian kontraktor sebelum pajak      : 28,85 x 650=187,5
  6. Pajak                                                       : 90 (48% x 187,5)
  7. Bagian kontraktor setelah pajak         : 187,5–90=97,5 (15% ETBS)
  8. Bagian negara setelah pajak                : 462,5+90=552,5(85%ETBS)

Penghitungan sederhana di atas menunjukkan besaran pajak yang dikenakan sangat mempengaruhi bagian pemerintah dan bagian kontraktor. Pada contoh penghitungan pertama dimana bagi hasil 85:15 dengan tariff pajak 48 % maka bagian negara sebenarnya adalah 71,15 % dan kontraktor sebenarnya 28,85 %, sedangkan pada contoh penghitungan kedua dimana bagi hasil 85:15 dengan pajak 44 % maka yang dibagi sebenarnya 73,15 % : 26,85 %. Hal ini menunjukkan dengan mengunakan prinsip bagi hasil yang sama, penurunan tarif justru akan meningkatkan bagian pemerintah dan mengurangi bagian kontraktor, atau sebaliknya.

Dasar Hukum Pada Undang-Undang KUP

Undang-undang ini lengkapnya adalah Undang-Undang Nomor 28 tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang No. 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (selanjutnya disebut sebagai “UU KUP” dalam makalah ini). UU KUP inilah yang merupakan induk secara umum dari pengenaan pajak di sektor usaha migas.

Pasal 1 angka 1 UU KUP menyebutkan bahwa; Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Hal tersebut menunjukkan bahwa pajak, termasuk pemungutan pajak di sektor migas adalah kewajiban kepada setiap orang atau badan, khususnya dalam makalah ini adalah pelaku usaha dengan bentuk “bentuk usaha tetap”.

Sedangkan mengenai subjek pajak di sektor migas telah disebutkan pada pasal 1 angka 3 UU KUP, yang berbunyi, “Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.[11] Atas dasar pasal tersebut maka kontraktor PSC, yang berbentuk “bentuk usaha tetap merupakan wajib pajak berdasarkan pasal 1 angka 2 UU KUP, yang berbunyi, “Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan”.[12]

Atas dasar ketentuan-ketentuan tersebut, maka berdasarkan UU KUP, kontraktor, sebagai bentuk usaha tetap wajib untuk membayarkan pajak yang dikenakan kepadanya, karena bentuk usaha tetap merupakan salah satu bentuk dari wajib pajak badan.

Dasar Hukum Pada Undang-Undang  Minyak dan Gas Bumi

Penegasan yang terdapat pada UU No. 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (selanjutnya disebut sebagai “UU Migas” dalam makalah ini) yang terkait dengan pemungutan pajak di sektor usaha migas yaitu bahwa badan usaha atau bentuk usaha tetap (kontraktor) yang melaksanakan kegiatan usaha hulu, wajib membayar penerimaan negara yang berupa pajak dan penerimaan negara bukan pajak.[13]

Setidaknya ada tiga jenis pajak yang mana kontraktor wajib untuk membayar, yaitu:[14]

  1. Pajak-pajak, didalamnya termasuk mengenai PPh;
  2. Bea Masuk dan pungutan lain atas impor dan cukai;
  3. Pajak daerah dan retribusi daerah

Dalam hal, ketentuan atau peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang menjadi dasar pengenaan pajak di sektor usaha migas, ditentukan oleh pasal 31 ayat (4) UU Migas, yaitu:[15]

  1. Ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan yang berlaku pada saat kontrak kerjasama (PSC) ditandatangani;
  2. Ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan yang berlaku.

Dasar Hukum Pada Undang-Undang Pajak Penghasilan

Kontraktor PSC yang pada umumnya berbentuk bentuk usaha tetap, merupakan salah satu badan usaha yang diakui sebagai subjek pajak berdasarkan UU PPh. Dasar hukumnya adalah pasal 2 ayat (1) UU PPh.

Sebagai bentuk dari penerapan asas non-diskriminatif dalam investasi, maka bentuk usaha tetap merupakan subjek pajak yang perlakuan perpajakannya dipersamakan dengan subjek pajak badan.[16] Implementasi nyatanya yaitu adanya kesamaan tarif PPh antara bentuk usaha tetap dan wajib pajak badan dalam negeri, yang berdasarkan UU PPh terbaru, yaitu sebesar 28 %.[17] Dari segi territorial subjek hukumnya, kontraktor PSC yang berupa bentuk usaha tetap merupakan subjek pajak luar negeri berdasarkan pasal 2 ayat (4) UU PPh.

Selain itu, pada pasal 2 ayat (5) UU PPh, bentuk usaha yang menjadi subjek pajak penghasilan di Indonesia yaitu bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia, yang dapat berupa:…(j). wilayah kerja pertambangan minyak dan gas bumi…[18]

Selanjutnya, agar sebuah kontraktor PSC yang berbentuk bentuk usaha tetap di Indonesia dapat dikenakan PPh, maka perlu diklasifikasi apa saja yang diklasifikasikan sebagai objek pajak pada bentuk usaha tetap, yaitu:

  1. Penghasilan dari usaha atau kegiatan bentuk usaha tetap tersebut dan dari harta yang dimiliki atau dikuasai;
  2. Penghasilan kantor pusat dari usaha atau kegiatan, penjualan barang, atau pemberian jasa di Indonesia yang sejenis dengan yang dijalankan atau dilakukan oleh bentuk usaha tetap di Indonesia;
  3. Penghasilan sebagaimana tersebut dalam pasal 26 yang diterima atau diperoleh kantor pusat, sepanjang terdapat hubungan efektif antara bentuk usaha tetap dengan harta atau kegiatan yang memberikan penghasilan dimaksud.

Dari bunyi pasal tersebut, dapat diketahui bahwa penghasilan bentuk usaha tetap yang menjadi objek pajak adalah penghasilan dari harta yang dimiliki atau dikuasai. Hal tersebut menunjukkan bahwa penghasilan bentuk usaha tetap yang menjadi objek pajak penghasilan adalah minyak mentah atau crude oil yang telah dilakukan pembagian antara kontraktor PSC dan Pemerintah.

Jadi apabila dalam satu tahun pajak, kontraktor berhasil memperoleh Z barrel. Maka bukan Z barrel itulah yang menjadi objek pajak, karena Z barrel tersebut belum dikuasai secara yuridis oleh kontraktor, melainkan harus diubah, setelah dikurangi cost recovery yang dibayarkan ke pemerintah, menjadi Equity to be Split (ETBS) setelah itu baru dikalikan dengan prosentase pembagian yang dimiliki kontraktor, yang biasanya sebanyak 15 % ata 20 %.

Setelah didapat pendapatan dari split, maka hasil produksi minyak mentah tersebutlah yang menjadi objek PPh bagi kontraktor PSC. Contohnya adalah sebagai berikut: (dalam barrel)

  1. Hasil produksi minyak                          : 1000
  2. Cost Recovery                                       : 350
  3. Equity to be split (ETBS)                     : 650 (1000-350)
  4. Bagian negara sebelum pajak               : 71,15% x 650=462,5
  5. Bagian kontraktor sebelum pajak        : 28,85 x 650=187,5
  6. Pajak                                                        : 90 (48% x 187,5)
  7. Bagian kontraktor setelah pajak          : 187,5–90=97,5 (15% ETBS)

Atas dasar perhitungan dari kasus semu tersebut, maka pendapatan kena pajak dari bentuk usaha tetap yang merupakan kontraktor PSC di Indonesia adalah 97,5 x harga minyak mentah dipasaran.

Dasar Hukum Pada Peraturan Pemerintah Nomor 35 tahun 1994 tentang Syarat-Syarat dan Pedoman Kerjasama Kontrak Bagi Hasil Minyak dan Gas Bumi

Hingga kini, peraturan pelaksana dari UU Migas hanya PP No. 35 tahun 2004, dimana dalam PP tersebut, belum diatur dengan jelas, bahkan belum diatur mengenai mengenai aturan perpajakan di sektor usaha migas. Atas dasar hal tersebut maka PP No. 35 tahun 1994 masih dapat dipergunakan sebagai dasar hukum dari pemungutan pajak di sektor usaha migas.

Kewajiban membayar pajak kontraktor PSC diatur pada pasal 17 ayat (2) PP No. 35 tahun 1994, yang berbunyi; Kontraktor wajib membayar pajak-pajak sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku atas perolehan bagiannya.

Kemudian apabila mengacu pada UU Mgas, maka peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagaimana dimaksud pada pasal tersebut adalah Ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan yang berlaku pada saat kontrak kerjasama (PSC) ditandatangani dan Ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan yang berlaku.

Ketentuan yang Terdapat Pada Model PSC

UU Migas mengisyaratkan paling tidak harus ada tiga belas (13) peraturan pemerintah sebagai aturan pelaksanaan dari, antara lain mencakup penyediaan BBM di dalam negeri, pedoman, tatacara dan syarat Kontrak Kerja Sama (KKS/ PSC), pengembangan lapangan dan produksi, kewajiban menyerahkan 25% bagiannya dari hasil produksi, pengolahan, pengangkutan, penyimpanan dan niaga, bagian negara, pungutan dan bonus, dan lain-lain.

Dari aturan-aturan pelaksanaan sebagaimana disebutkan di atas, yang mengatur masalah bagian negara adalah aturan yang memberi gambaran kebijakan di bidang pajak penghasilan. Peraturan pemerintah yang telah diterbitkan adalah Peraturan Pemerintah No. 35/2004 yang mengatur pelaksanaan di sektor hulu dan No. 36/2004 yang mengatur kegiatan di sektor hilir.

Aturan pelaksanaan yang menyangkut masalah bagian negara diatur di pasal 54 PP No. 35/2004. Namun sayangnya, pasal tersebut mengatur bahwa masalah bagian negara akan diatur dengan peraturan pemerintah tersendiri.

Dengan belum adanya pedoman yang dimaksud maka untuk mengetahui kebijakan perpajakan di industri hulu sektor migas maka yang dapat dilakukan adalah menyimak ketentuan dalam PSC yang telah ditandatangani antara kontraktor dengan BP Migas, selaku perwakilan negara dalam penandatanganan kontrak.

Kebijakan di bidang perpajakan dan besarnya bagian pemerintah dari kegiatan di sektor hulu dapat disimak dari ketentuan-ketentuan di dalam Model PSC. Dari PSC yang sudah ditandatangani 2004, besarnya bagian pemerintah beserta masalah-masalah lain disajikan di tabel 1.[19]

Dengan asumsi bahwa kontraktor yang bersangkutan adalah suatu “bentuk usaha tetap” (BUT) maka pajak penghasilan yang harus dibayar adalah 30% x penghasilan bersih + 20% x (70% dari penghasilan bersih), sehingga beban pajaknya adalah 44% dari penghasilan bersih. Apabila beban pajak tersebut dikalikan dengan bagian kontraktor hasilnya di tabel 2 Perhitungan di atas menunjukkan bahwa perbandingan antara bagian yang diterima oleh BP Migas dan kontraktor, untuk Minyak bumi: 80 : 20; dan untuk Gas alam: 65 : 35

Dari sudut pandang kontraktor, umumnya pembagian ini lebih menguntungkan dari pembagian berdasarkan undang-undang lama. Dalam kontrak yang lama bagi hasil untuk minyak bumi adalah 85:15, dan untuk gas alam adalah 70:30. Bagi hasil sebagaimana diuraikan di atas didasarkan atas asumsi bahwa yang menandatangani kontrak adalah perusahaan asing, karena dalam perhitungan “take home share” tersebut termasuk pembayaran PPh Pasal 26 ayat (4) – atau sering disebut branch profits tax.

Sebagaimana diatur di pasal 31, UU No. 22/2001 penerimaan negara dipisahkan menjadi dua yaitu penerimaan negara berupa pajak dan penerimaaan negara bukan pajak. Ketentuan tersebut tidak mengatur hubungan kedua jenis penerimaan negara itu.

Dari sudut pandang kontraktor, masih diperlukan penegasan yang menyangkut masalah, apakah penerimaan negara bukan pajak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto. Pasal 6 ayat (1) Undang-undang Pajak Penghasilan mengatur bahwa pajak-pajak selain pajak penghasilan boleh dikurangkan sebagai biaya.[20] Exhibit C dari Kontrak Kerja Sama tidak secara tegas mengatur hal ini. Sesuai dengan asas uniformity pajak-pajak daerah itu, seharusnya disebut secara tegas dalam Exhibit C ini.

Sesuai dengan ketentuan UU PPh, perusahaan asing yang melakukan kegiatan di Indonesia melalui suatu “bentuk usaha tetap” dikenai PPh tambahan sebesar 20% sebagaimana diatur dalam pasal 26 ayat (4), yang biasanya disebut branch profit tax. Branch profit tax ini merupakan unsur penting karena merupakan faktor penentu yang menjamin bahwa bagi hasil akhir adalah 80:20 (untuk minyak bumi) dan 65:35 (untuk gas alam).

Di dalam Model PSC hal ini ditegaskan di Section XV dengan rumusan sebagai berikut:

BP MIGAS and CONTRACTOR agree that all of the percentages appearing in Section VI of this Contract have been determined on the assumption that Contractor is subject to final tax on after-tax profits under Article 26 (4) of the Indonesian Income Tax Law and is not sheltered by any tax treaty to which the Government of Republic of Indonesia has become a party. In the event that, subsequently, any portion of CONTRACTOR’s participating interest in this Contract becomes subject to a tax treaty, all or percentages appearing in Section VI as applicable only portion of CONTRACTOR’s participating interest in this Contract so affected by a tax treaty shall be revised in order to maintain the same net income after-tax for all CONTRACTOR’s participating interest.”[21]

Ketentuan tersebut diatas menunjukkan bahwa kebijakan perpajakan yang dianut dalam KKS adalah menjamin diperolehnya bagi hasil bersih sebesar 80:20 (untuk minyak bumi) dan 65:35 (untuk gas alam). Dengan demikian apabila kontraktor yang bersangkutan berdomisili di negara yang mempunyai tax treaty dengan Indonesia dan branch profit tax-nya lebih rendah dari 20% maka bagi hasilnya (split-nya) disesuaikan sehingga bagi hasil sebagaimana disebutkan diatas tetap dapat diperoleh.

Potensi-Potensi Pemungutan Pajak di Sektor Usaha Migas Selain Pajak Penghasilan

Saat ini, berdasarkan dasar-dasar hukum yang ada, baru PPh yang merupakan penerimaan negera berupa pajak dari bentuk usaha tetap di sektor usaha migas di Indonesia. Meskipun demikian pada dasarnya terdapat beberapa potensi pemungutan pajak selain PPh, antara lain; Mekanisme pmbayaran pajak dengan natura, Windfall Profit Tax, Farm in-Farm out Tax. Khusus untuk windfall profit tax, Amerika Serikat dan Venezuela telah menerapkan pajak tersebut kepada badan usaha yang melakukan usaha di sektor migas.

Pembayaran Pajak dengan Natura

Apabila memperhatikan proses penghitungan bagi hasil (split) sebagai contoh-contoh yang diuraikan sebelumnya, dan juga dikaitkan dengan harga minyak per tengah tahun 2009 yang mengalami lonjakan harga, maka mekanisme pembayaran pajak dengan natura/ bentuk minyak mentah (crude oil) akan lebih meningkatkan penerimaan negara berupa pajak.

Pembayaran pajak dengan natura pada dasarnya dikenal baik, secara teoritis maupun penerapan dalam UU PPh. Secara teoritis pembayaran pajak dapat dilakukan dengan empat cara,[22] salah satunya adalah dengan menggunakan natura. Cara pembayaran pajak tersebut pernah diterapkan pada system tanam paksa pada masa kolonial Hindia Belanda yang sebenarnya adalah pajak tanah. Masyarakat tidak membayar pajak dalam bentuk uang, namun dalam bentuk natura atau dengan cara menyerahkan hasil bumi. Dalam UU PPh, ketentuan mengenai pembayaran dengan natura, disebutkan padal pasal 2 ayat (3) huruf d, yang merupakan ketentuan untuk mengecualikan objek pajak.[23] Karena telah dikecualikan pada pasal tersebut, maka pada praktiknya pembayaran dalam bentuk natura tidak dipergunakan di Indonesia.

Meskipun begitu, pembayaran pajak dalam bentuk natura oleh bentuk usaha tetap yang melakukan usaha hulu migas di Indonesia dapat dimungkinkan untuk dilaksanakan. Misalnya dengan cara: setelah hasil minyak mentah atau gas alam cair yang diproduksi sudah di bagi (split), maka bentuk usaha tetap membayar pajaknya dengan ketentuan pajak natura x % dari minyak mentah atau gas alam cair tersebut.

Mekanisme pada dasarnya seperti dua sisi pada mata uang, apabila harga minyak atau gas dunia sedang melonjak, maka negara akan diuntungkan melalui pajak natura di sektor migas. Namun di sisi lain, apabila harga minyak dan gas di pasaran sedang turun dengan tajam, maka negara akan sangat dirugikan dengan pemungutan pajak natura.

Windfall Profit Tax

Windfall profit Tax (WPT) ini pada dasarnya, sebagaimana mekanisme pembayaran pajak dengan natura, sangat bergantung pada harga minyak di pasaran yang melambung tinggi. Penerimaan negara berupa pajak dengan WPT, didapat melalui pajak pada perolehan keuntungan tdak terduga (windfall profit) yang diperoleh bentuk usaha tetap yang melakukan kegiatan usaha hulu migas.

Windfall profit adalah keuntungan tambahan yang diperoleh kontraktor asing bukan dari hasil kerja tambahan maupun investasi, melainkan semata-mata dipicu oleh gejolak harga pasar yang diramalkan semakin membesar dan selama ini dinikmati secara sepihak oleh kontraktor.[24] Penerapan pajak atas WP tersebut sangat relevan pada masa-masa sekarang ini, mengingat harga minyak dan gas dunia di pasaran yang sedang melambung, yang mana hal tersebut akan semakin menambah penerimaan negara berupa pajak, khususnya pajak di sektor migas.

Sebagai contoh, misalnya di Indonesia terdapat produksi minyak 1 juta barrel per hari (bph) atau 360 juta bph/tahun dan ambil contoh harga minyak dunia 100 dollar per barrel serta menggunakan basis harga US$ 70/barrel. Pendapatan negara yang didapat dari W dari selisih harga pasar terhadap basis harga dasar yang diterima kontraktor minyak asing mencapai US$ 5,6 Milyar atau apabila dikonversi kedalam rupiah lebih kurang sebesar Rp. 56 Triliun.[25]

Dan apabila WP tersebut dikenakan pajak, misalnya PPh sebesar 44 %, maka negara akan mendapat tambahan sekitar Rp. 21 sampai 22 triliun. Jumlah tersebut adalah jumlah yang sangat signifikan bagi penerimaan negara berupa pajak, khususnya pajak di sektor migas.

Beberapa negara di dunia yang menerapkan WPT antara lain, Amerika Serikat dan Venezuela. Venezuela pada tahun 2008 mematok dapat memperoleh US$ 9 Milyar per tahun dari pajak terhadap windfall profit.[26] Hal itu sejalan dengan pernyataan Presiden Venezuela di Sidang OPEC, If the price of oil continues to strengthen between $80 and $100 per barrel, I think it is necessary to apply this tax”.[27] Hal-hal tersebut menunjukkan bahwa Venezuela sangat concern mengenai pengenaan pajak yang dikenakan kepada bentuk usaha tetap yang dikaitkan dengan fluktuasi harga minyak dan gas dunia.

Di Amerika Serikat, penerapan WPT tersebut, menghasilkan penerimaan negara yang sangat besar terjadi pada awal tahun 1980 dan akhir decade 1970-an[28], mengingat saat telah terjadi bonanza minyak yang diakibatkan oleh permintaan minyak dan gas yang begitu besar pasca Perang Dunia I dan II serta setelah terjadinya Perang Korea. Di Amerika Serikat, karena begitu “peduli”-nya dengan kaitan antara kebijakan perpajakan dengan fluktuasi harga minyak dan gas dunia, persoalan WPT tersebut menjadi topic hangat dalam perdebatan kandidat presiden setiap tahunnya, tidak terkecuali ketika Barrack Obama (kini menjadi Presiden Amerika Serikat) menyatakan bahwa ketika kampanye. Obama memproyeksikan apabila AS menerapkan WPT maka akan diperoleh penerimaan negara minimal US$ 19 Milyar[29], dan apabila dana tersebut dipergunakan untuk membangkikan sektor UKM akan membuat negara sejahtera.

Farm in-Farm out Tax

Farm in-Farm out Tax (selanjutnya disebut sebagai “FFT”)adalah pajak yang dikenakan kepada pelaku usaha disektor migas yang mendapat keuntungan dengan melakukan pengalihan pengelolaan lapangan minyak atau gas bumi kepada pelaku usaha lain. Pengalihan tersebut adalah perilaku yang wajar dan sering terjadi dalam dunia bisnis perminyakan, khususnya di Indonesia. Contohnya adalah ketika pengelolaan Blok Cepu dialihkan dari Grup Humpuss kepada Exxon Mobil.[30] Pada dasarnya Humpuss-lah yang mendapat hak atas pengelolaan Blok Cepu setelah melakukan penandatanganan PSC dengan BP Migas. Contoh lain adalah ketika terjadi pengalihan lapangan minyak Sukawati dari Pertamina kepada Exxon Mobil. Begitu seringnya pengalihan (farm in-farm out/ FF) dilakukan karena sektor usaha hulu migas, khususnya dalam hal eksploitasi, membutuhkan teknologi tinggi dan beresiko besar, yang mana teknologi tinggi tersebut umumnya dimiliki oleh bentuk usaha tetap multinasional, seperti Exxon, Shell, BP, dan lain-lain.

Atas dasar hal tersebut maka dalam proses FF telah muncul keuntungan yang didapat oleh pelaku usaha seperti Grup Humpuss ketika menjual hak atas pengelolaan lapangan minyak yang didapat dari PSC. Di Uni Eropa keadaan seperti ini merupakan salah satu objek pajak bagi perusahaan berupa  Capital Gains Tax.[31]

Pada dasarnya, dalam UU PPh telah disebutkan bahwa keuntungan yang didapat dari pengalihan semacam farm in-farm out, yaitu pada pasal 4 ayat (1) huruf d angka 5, yang berbunyi;

Keuntungan karena penjualan atau pengalihan sebagian atau seluruh hak penambangan,  tanda turut serta dalam pembiayaan, atau permodalan dalam perusahaan pertambangan.”[32]

Dengan adanya pengaturan mengenai keuntungan sebagaimana disebut dalam pasal tersebut dianggap sebagai objek pajak, menunjukkan bahwa di Indonesia telah menerapka capital gains tax walaupun tidak terintegrasi dengan  PPh dan tidak ada peraturan pelaksanaan lebih lanjut dari pengaturan tersebut. Dalam pasal 4 tersebut, capital gain tax hanya berlaku bagi pengalihan di sektor usaha pertambangan, yang diatur dengan UU No. 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, tidak untuk farm in-farm out di sektor usaha migas. Hal tersebut cukup disayangkan, mengingat sektor usaha migas adalah sektor yang paling  besar kontribusinya bagi penerimaan negara dari sumber daya alam.

Jadi, farm in-farm out tax saat ini sebatas hanya sebagai potensi pemungutan pajak di sektor migas, karena belum ada peraturan perundang-undangan yang memberikan pengaturan akan hal ini.

Dilema Maksimalisasi Penerimaan Negara dari Pajak di Sektor Usaha Migas

Sebagaimana telah terurai sebelumnya, bahwa saat ini pajak yang dikenakan terhadap bentuk usaha tetap yang melakukan kegiatan usaha migas, hanya PPh. Meskipun demikian, terdapat potensi-potensi pemungutan pajak selain dari PPh, yaitu mekanisme pembayaran pajak dengan natura, windfall profit tax, dan farm in-farm out tax. Bila mengacu kembali kepada tujuan dari pajak yaitu sebesar-besar untuk kemakmuran rakyat, maka potensi-potensi tersebut akan semakin memperbesar peluang untuk mensejahterakan rakyat Indonesia.

Namun apabila berbicara mengenai peningkatan penerimaan berupa pajak, maka akan dihadapkan dengan dilemma akan turunnya jumlah investasi asing langsung (foreign direct investment) di Indonesia. Permasalahan tersebut adalah permasalahan klasik bak buah simalakama.

Namun apabila membandingkan dengan Amerika Serikat dan Venezuela, maka dapat terlihat bagaimana kedua negara menerapkan pajak yang begitu besar effort-nya untuk maksimalisasi pendapatan negara dari sektor pajak. Mengenai investasi, adalah persoalan nomor dua, karena pada dasarnya kekayaan alam Indonesia masih dapat menarik minat bagi investor mana pun untuk berinvestasi. Masalah pajak merupakan resiko yang harus ditanggung bagi setiap investor yang berinvestasi di Indonesia.

Yang penting adalah dalam menerapkan kebijakan perpajakan, penting untuk diingat mengenai apa yang disebut “good taxation”, yaitu; [33]

  1. It should be easy to calculate,
  2. Cheap to collect, and
  3. Hard to evade.

Dan yang lebih penting lagi adalah mengingat tujuan pajak sebagai sarana untuk semaksimal mungkin mensejahterakan rakyat Indonesia.

Kesimpulan

Industri migas adalah salah sumber penerimaan negara baik berupa pajak maupun bukan pajak. Hal itu disebabkan karena pelaku usaha yang menjalankan usaha di sektor usaha migas umumnya adalah bentuk usaha tetap yang memiliki teknologi tinggi dan modal yang besar. Dalam hal sebagai sumber penerimaan negara berupa pajak, sektor usaha migas memberikan kontribusi yang tidak sedikit bagi pemasukan dari sektor PPh migas. PPh migas yang dikenakan kepada bentuk usaha tetap (kontraktor) adalah 28 %.

Pada dasarnya, selain dari PPh migas, terdapat beberapa potensi pemungutan pajak di sektor usaha migas, diantaranya adalah mekanisme pembayaran pajak dengan natura, windfall profit tax, dan farm in-farm out tax. Ketiganya memiliki potensi yang besar, bagi negara untuk melipatgandakan penerimaan negara berupa pajak dari sektor usaha migas. Hanya saja, saat ini belum ada peraturan perundang-undangan yang melandasai sebagai dasar hukum dari penerapan pemungutan-pemungutan pajak tersebut.

Beberapa negara, seperti Amerika Serikat dan Venezuela, telah dengan gemilang, menuai pendapatan negara yang lebih dengan memanfaatkan potensi-potensi tersebut, khususnya penerapan windfall profit tax, karena mengingat harga minyak dan gas bumi di pasaran dunia yang saat ini sedang mengalami kenaikan. Pengalaman negara-negara tersebut penting untuk dipertimbangkan, mengingat hal tersebut dapat dipergunakan untuk mensejahterakan rakyat melalui pembangunan sebagaimana tujuan dari dipungutnya pajak.

Saran

Atas dasar uraian-uraian di atas, maka diajukan beberapa saran dalam permasalahan tersebut, yaitu:

  1. Pemerintah (eksekutif) bersama-sama dengan lembaga legislatif harus melakukan pembaharuan secara terus menerus, sesuai dengan perkembangan zaman dalam menetapkan Pajak Penghasilan di sektor usaha migas, mengingat harga minyak dan gas bumi dunia tidak tetap, melainkan fluktuatif.
  2. Pemerintah bersama DPR, dapat membuat suatu peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar dapat diterapkannya pemungutan pajak-pajak selain daripada PPh di sektor usaha migas, seperti pembayaran pajak dengan natura (crude oil), windfall profit tax, dan/atau farm in-farm out tax, mengingat ketiganya memiliki potensi besar untuk menambah penerimaan negara berupa pajak dari sektor usaha migas, yang mana penerimaan negara tersebut dapat digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat melalui pembangunan.

Judul : Aspek Hukum Pemungutan Pajak Terhadap Bentuk Usaha Tetap Pada Sektor Usaha Minyak dan Gas Bumi di Indonesia. Oleh : Farid Hanggawan. Sumber : http://lexcommercii.wordpress.com/2009/12/08/aspek-hukum-pemungutan-pajak-terhadap-bentuk-usaha-tetap-pada-sektor-usaha-minyak-dan-gas-bumi-di-indonesia/#_ftn3

 

Daftar Pustaka
Buku
Farmer, Paul., Richard Lyal, EC Tax Law. New York: Oxford University Press, 1994
Siahaan, Mariot P. Utang Pajak, Pemenuhan Kewajiban dan Penagihan Paksa dengan Surat Paksa. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2004.
Simamora, Rudi M. Hukum Minyak dan Gas Bumi. Jakarta: Penerbit Djambatan, 2000
Soemitro, Rochmat., Dewi Karina Sugiharti. Asas dan Dasar Perpajakan. Bandung: Refika Aditama, 2004
Snape, John. Blackstone’s LLB Cases & Materials: Tax Law. London: Blacstone Press Limited, 1999
Stanley, Joyce., Allan J. Parker. Federal Income Tax Law 5th Ed. Boston: Warren, Gorham & Lamont, Inc., 1971
[1] Indonesia, Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, UU No. 41 tahun 2008, LN No. 171 tahun 2008, TLN No. 4920, pasal 4 ayat 2 huruf a
[2] Indonesia, ibid., pasal 3 ayat (2) huruf a
[3] Kompas Online, Hore…Produksi minyak Indonesia Meningkat, http://bisniskeuangan.kompas.com/read/xml/2009/04/02/10224653/Hore….Produksi.Minyak.Indonesia.Meningkat, diakses pada 7 Desember 2009
[4] Portal Nasional Republik Indonesia, Produksi Gas Bertambah, http://www.indonesia.go.id/id/index.php?option=com_content&task=view&id=9361&Itemid=687, diakses pada tanggal 7 Desember 2009
[5] Rochmat Soemitro dan Dewi Karina Sugiharti, Asas dan Dasar Perpajakan, (Bandung: Refika Aditama, 2004), hlm. 8
[6] Joyce Stanley dan Allan J. Parker. Federal Income Tax Law 5th Ed., (Boston: Warren, Gorham & Lamont, Inc., 1971),  hlm. 279
[7] Rudi M. Simamora, Hukum Minyak dan Gas Bumi, (Jakarta: Penerbit Djambatan, 2000), hlm. 63
[8] Mumu Muhajir, Analisis atas Ketentuan Pokok PSC, http://kataloghukum.blogspot.com diakses pada tanggal 4 Desember 2009
[9] Indonesia, Undang-Undang Pajak Penghasilan, UU No. 7 tahun 1984 sebagaimana diubah terakhir kali dengan UU No. 36 tahun 2008, pasal 17 ayat (2)
[10] Rudi M. Simamora, op.cit., hlm. 96
[11] Indonesia, Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, UU No. 6 tahun 1984 sebagaimana diubah terakhir kali dengan UU No. 28 tahun 2007, LN No. 85/2007, TLN No. 4740 pasal 1 angka 3
[12] Indonesia, ibid., pasal 1 angka 2
[13] Indonesia, Undang-Undang Minyak dan Gas Bumi, UU No. 22 tahun 2001, LN. No. 66/2001, pasal 31 ayat (1)
[14] Indonesia, ibid., pasal 31 ayat (2).
[15] Indonesia, ibid., pasal 31 ayat (4)
[16] Indonesia, Undang-Undang Pajak Penghasilan, op.cit., pasal ayat (1a)
[17] Indonesia, op.cit., pasal ayat (1) huruf b
[18] Indonesia, op.cit., pasal 2 ayat (5)
[19] Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas bumi (BP Migas), Model “Production Sharing Contract” 2008, sebagaimana disunting oleh M. Farid Hanggawan dalam, “The Indonesian Oil and Gas Law: A Compilation of Reading Materials and Regulations”, (Depok: Business Law Society, 2009)
[20] Indonesia, op.cit., pasal 6 ayat (1)
[21] Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas, op.cit., Section XV
[22] Mariot P. Siahaan, Utang Pajak, Pemenuhan Kewajiban dan Penagihan Paksa dengan Surat Paksa, (Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2004), hlm. 179
[23] Indonesia, UU Pajak Penghasilan, op.cit., pasal 2 ayat (3).
[24] Badan Pemeriksa Keuangan RI, Pajak Pengusahaan Minyak dan Gas Bumi Indonesia, http://www.bpk.go.id, diakses pada 3 Desember 2009
[25] Badan Pemerikasa Keuangan RI, ibid.,
[26] Market Watch., Venezuela imposes windfall tax on oil producers,  http://www.marketwatch.com/story/venezuela-imposes-oil-windfall-tax-on-producers, diakses pada 4 Desember 2009
[27] Brian Ellsworth, Venezuela’s Chavez says may create windfall oil tax, http://www.reuters.com/article/idUSN0240270020080403, diakses pada tanggal 3 Desember 2009
[28] Joseph J. Thorndike, Historical Perspective: The Windfall Profit Tax, http://www.taxhistory.org/thp/readings.nsf/cf7c9c870b600b9585256df80075b9dd/edf8de04e58e4b14852570ba0048848b, diakses pada tanggal 4 Desember 2009.
[29] Wall Street Journal, What Is a ‘Windfall’ Profit?, http://online.wsj.com/article/SB121780636275808495.html?mod=opinion_main_review_and_outlooks, diakses pada 5 Desember 2009.
[30] Badan Pemeriksa Keuangan RI, op.cit.,
[31] Paul Farmer dan Richard Lyal, EC Tax Law, (New York: Oxford University Press, 1994), hlm. 3
[32] Indonesia, UU Pajak Penghasilan, op.cit., pasal 4 ayat (1) huruf d
[33] Farmer, op.cit., hlm. 2