Dalam banyak kunjungan ke lokasi Wajib Pajak yang masuk dalam kriteria jumlah peredaran bruto tertentu atau yang sering disebut sebagai Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM), penulis berkesimpulan bahwa informasi penurunan tarif PPh dari yang sebelumnya 1% menjadi 0,5% sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018 sebagian sudah diketahui oleh Wajib Pajak. Namun “unik”nya, untuk yang bukan kriteria Pengusaha Kena Pajak (PKP) tetap tidak mempengaruhi tingkat atau besaran pajak yang disetor ke Kas Negara di setiap Masanya. Tentu hal ini sangat memprihatinkan mengingat peningkatan peran UMKM terhadap produk domestik bruto (PDB) dalam beberapa tahun terakhir ini sangat signifikan.

Penulis melihat beberapa hal yang menjadi dasar ketidaksediaan Wajib Pajak bertindak dan berlaku sesuai dengan kondisi usaha, sementara aturan PP 23 2018 ini dibuat mudah dan sesederhana mungkin. untuk dapat melaksanakan kewajiban perpajakannya.

Ketidaktahuan Hak dan Kewajiban

Bagi Wajib Pajak UMKM yang sifat usahanya adalah jasa misalkan, jasa service, jasa katering, jasa lainnya yang lawan transaksinya perusahaan berbentuk badan seperti perseroan terbatas (PT)  umumnya merasa bahwa atas penghasilan mereka telah dilakukan pemotongan (PPh Pasal 23) sehingga tidak ada lagi kewajiban perpajakan lainnya, padahal atas PPh Pasal 23 yang dipotong akan diperhitungkan kembali sebagai kredit pajak dalam penghitungan SPT Tahunannya apak (lebih) atau kurang bayar.

a. Kenapa dipotong PPh Pasal 23?

Karena konsep PPh Pasal 23 adalah apabila perusahaan (pembeli atau pengguna jasa)  membayar sejumlah uang karena pekerjaan, kegiatan, jasa yang dilakukan pihak lain maka saat membayarkan Wajib melakukan pemotongan pajak terlebih dahulu (tarif PPh 23 adalah 2%), jika hal tersebut tidak dilakukan maka atas PPh nya ditanggung oleh mereka yang tentu merugikan bagi perusahaan.

Karena merasa sudah dipotong PPh Final dengan tarif 2%, maka Wajib Pajak UMKM merasa tidak perlu lagi melakukan pembayaran pajak sementara hal ini bertentangan dengan peraturan perpajakan yang menimbulkan konsekuensi tersendiri.

b. Bagaimana agar tidak dipotong?

Apabila Wajib Pajak penyedia jasa memiliki Surat Keterangan silahkan memberikan kepada pemotong atau pemungut fotokopi Surat Keterangan. Surat Keterangan adalah surat yang diterbitkan oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak atas nama Direktur Jenderal Pajak yang menerangkan bahwa Wajib Pajak dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 23 tahun 2018. Apabila Surat Keterangan diberikan maka pemotong atau pemungut hanya memotong PPh Final dengan tarif 0,5%.

Konsep Kira-Kira dan Bayar Ala Kadarnya

Subjek Pajak dalam PP 23 2018 ini adalah Orang Pribadi dan Badan berbentuk koperasi, persekutuan komanditer, atau perseroan terbatas. Sementara objeknya adalah penghasilan yaitu yang diterima atau diperoleh dengan jumlah bruto (Omset) tidak melebihi Rp. 4,800.000.000,-  dalam 1 (satu) tahun pajak.

Karena dasar pengenaannya sudah sederhana dan jelas yaitu peredaran bruto dikalikan tarif 0,5% dan bersifat final tentu tidak ada lagi persoalan dalam melaksanakan kewajiban perpajakan. Persoalan terjadi saat dalam rangka kepentingan perpajakan Wajib Pajak tidak berdasarkan pembukuan atau pencatatan atau tidak  melaksanakan pembukuan atau pencatatan melainkan dengan kira-kira atau sekenanya. Bahkan beberapa menghitung pajak terutangnya adalah 0,5% dari penghasilan netonya, keren kan?!

Seandainya Wajib Pajak UMKM memiliki omset Rp. 1.000.000.000,- dalam setahun maka pajak yang dibayar adalah Rp. 5.000.000,- setahun atau Rp. 416.667,- perbulan atau Rp. 13.889,- per hari, jumlah yang sederhana untuk menuju kemandirian suatu bangsa.

Boleh Memilih Final dan Non Final

Hal yang menarik dari PP 23 2018 ini adalah, Wajib Pajak UMKM diperkenankan untuk memilih apakah dikenakan PPh Final 0,5% dari Omset atau menggunakan ketentuan umum PPh yaitu dengan angsuran PPh Pasal 25 (Bab III Peraturan Menteri Keuangan nomor 99/PMK.03/2018).

Bagi Wajib Pajak UMKM yang memilih penghitungan pajaknya dengan cara angsuran PPh Pasal 25 maka Wajib Pajak bersangkutan dikategorikan seperti Wajib Pajak Baru.

Contoh :

Jongara adalah WP OP yang terdaftar sejak 2007 melakukan pencatatan dalam menghitung penghasilan netonya (kategori UMKM) memutuskan untuk  memilih untuk dikenai PPh berdasarkan tarif pasal 17 ayat (1) huruf a, pasal 17 ayat 2a, atau pasal 31E UU PPh dengan mengisi formulir sebagaimana terdapat dalam lampiran  Peraturan Menteri Keuangan nomor 99/PMK.03/2018 paling lambat pada akhir tahun pajak. Maka sejak awal tahun 2019 Wajib Pajak bersangkutan dikenai PPh berdasarkan ketentuan umum Pajak Penghasilan.

Tuan Jongara (K/3) bergerak dalam bidang perrdagangan material bangunan di daerah Karawang dalam bulan Januari 2019 peredaran bruto menurut catatan adalah  Rp. 83.300.000,-. Persentase Norma Penghitungan Penghasilan Neto (NPPN) sesuai dengan PER-17/PJ/2015 untuk perdagangan tersebut adalah 20%. Maka penghitungannya adalah sebagai berikut :

Penghasilan Bruto Januari 2019  adalah  Rp. 83.300.000,-

Penghasilan Neto adalah 20% x Rp. 83.300.000 = Rp. 16.660.000,-

Penghasilan Neto setahun adalah  Rp. 199.920.000,-

PTKP (K/3) adalah (Rp. 72.000.000,-)

Penghasilan Kena Pajak adalah  Rp. 127.920.000,-

PPh terutang adalah Rp. 14.188.000,-

Angsuran bulan Januari 2019 s.d Desember 2019 adalah Rp.  1.182.333,-

Wajib Pajak Minta Tolong Pajak di Uruskan

Beberapa Wajib Pajak kategori UMKM menyerahkan urusan perpajakan kepada biro jasa (umumnya bersertifikat brevet pajak), namun penentuan jumlah pajak yang dibayar adalah sepengetahuan Wajib Pajak. Walapun ada juga beberapa Biro Jasa entah apa sebabnya menyarankan untuk membayar lebih kecil dari seharusnya dan itu berada diluar kewenangan brio jasa tersebut. Tiba saat Wajib Pajak memiliki omset lebih dari Rp. 4,8 Miliar umumnya biro jasa melimitasi dalam jumlah tersebut karena khawatir akan menjadi PKP dan melakukan pembukuan (khusus bagi pengusaha Orang Pribadi), maka hal ini menyebabkan kepatuhan material menjadi tidak sesuai dengan ketentuan perpajakan.

Untuk kategori UMKM, Wajib Pajak diberi kemudahan dalam menghitung pajak terutang, hanya dengan mencatat omset dalam sebulan maka langsung dikalikan 0,5% dengan contoh sebagai berikut :

Markonah (K/3) kegiatan usaha jual kain eceran memiliki omset bulan Oktober 2018 sebesar Rp. 47.000.000,- maka PPh Final terutang adalah Rp. 47.000.000,- x 0,5% = Rp. 235.000,- yang disetorkan ke Kas Negara paling lambat tanggal 15 Nopember 2018. Dapat melalui ATM pada Bank Persepsi (bisa melalui ATM pada Bank Mandiri, BRI, BNI, dan BCA) dengan memasukan NPWP. Masa Pajak, dan jumlah Rp. 235.000,- dengan  Kode Akun Pajak  411128 (PPh Final) dan Kode Jenis Setoran 420 (PPh Final Pasal 4 ayat (2) atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu).

Penutup

Berdasarkan beberapa pengalaman diatas dapat disimpulkan bahwa ada sebagian kecil ketidakpatuhan Wajib Pajak diakibatkan karena kekurangtahuan tentang hak dan kewajiban perpajakan sebagai Wajib Pajak kategori UMKM. Namun, lebih dari beberapa karena unsur sengaja. Dari beberapa unsur sengaja ini beralasan karena usaha sejenis dari kompetitornya pun melakukan hal yang sama bahkan beberapa tidak membayar sama sekali, walaupun ada sebagian kecil (sekali) beralasan bahwa margin laba mereka sangat kecil.

Tak dapat dipungkiri bahwa semakin kompleks sistem perpajakan akan mengakibatkan kepatuhan semakin rendah namun, sebaliknya semakin sederhana suatu sistem perpajakan maka dapat dipastikan akan semakin tidak adil kepada beberapa Wajib Pajak. Apapun itu, tujuan penulis melakukan pengulangan-pengulangan dalam tulisan di blog ini adalah dalam rangka memberikan informasi perpajakan bahwasanya perpajakan sekarang lebih fleksibel dan jauh lebih mudah…. maka taatlah membayar pajak dan sampaikanlah SPT dengan benar, jelas, dan lengkap.

Sumber : http://www.nusahati.com/2018/10/bila-kepatuhan-wajib-pajak-umkm-meningkat/