Pengertian Transfer Pricing
Bagi yang berkecimpung dalam bidang akuntansi dan perpajakan sudah terbiasa mendengar istilah dari “transfer pricing”, namun pada kenyataannya banyak ahli dalam kedua bidang tadi memiliki pengertian tersendiri. Adapun pengertian tentang transfer pricing yang dikemukakan oleh para ahli tersebut diantaranya :
1. Prof. Gunadi (Pajak Internasional, halaman 222)
Transfer pricing merupakan jumlah harga atas penyerahan barang atau imbalan atas penyerahan jasa yang telah di sepakati oleh kedua belah pihak dalam transaksi bisnis finansial maupun transaksi lainnya.
2. Darussalam dan Danny Septriadi (Transfer Pricing untuk Tujuan Perpajakan, halaman 7)
Transfer pricing merupakan bagian dari suatu kegiatan usaha dan perpajakan yang bertujuan untuk memastikan apakah harga yang diterapkan dalam transaksi antara perusahaan yang mempunyai hubungan istimewa telah didasarkan atas prinsip harga pasar wajar (arm’s length price principle).
3. Mohammad Zain (Manajermen Perpajakan, halaman 294)
Transfer pricing merupakan harga yang diperhitungkan untuk mengendalian manajemen atas transfer barang dan jasa antar-pusat pertanggungjawaban laba atau biaya, termasuk determinasi harga untuk barang, imbalan atas jasa, tingkat bunga pinjaman, beban atas persewaan dan metode pembayaran serta pengiriman uang.
Dari ketiga definisi tentang transfer pricing di atas, dapat kita ambil persamaannya bahwa transfer pricing merupakan harga yang ditimbulkan atas penyerahan barang, jasa atau harta tak berwujud lainnya dari satu perusahaan ke perusahaan lain yang masih terikat dalam hubungan kepemilikan. Dalam tulisan kali ini penulis fokus terkait atas perlakuan atas transfer pricing yang dilakukan di dalam negeri, kiranya tulisan ini memberikan informasi yang bermanfaat.
Legalitas Transfer Pricing
Pengertian transfer pricing sebagai harga yang ditimbulkan akibat penyerahan barang, jasa dan harta tak berwujud, seperti yang telah disebutkan di atas merupakan pengertian yang netral.
Lalu, apakah transfer pricing dalam transaksi hubungan istimewa merupakan suatu yang tidak baik (abuse of transfer pricing)?
Seringkali pengalihan atas penghasilan kena pajak (taxation income) dari suatu perusahaan multi-nasional ke negara-negara yang tarif pajaknya rendah dalam rangka untuk mengurangi total beban pajak dari grup perusahaan nasional tersebut.
Dengan demikian, manipulasi transfer pricing dapat dilakukan dengan cara memperbesar biaya atau memperkecil penjualan melalui mekanisme harga transfer dengan tujuan untuk mengurangi pembayaran pajak. Sehingga, manipulasi transfer pricing terjadi dengan cara menetapkan harga transfer menjadi “terlalu besar atau terlalu kecil” dengan maksud untuk memperkecil jumlah pajak yang terutang. Karena dengan memperkecil jumlah pajak yang terutang, keuntungan yang diterima oleh perusahaan multi-nasional akan semakin besar. Hal ini lah kenapa transaksi hubungan istimewa merupakan suatu transaksi yang sering disebut sebagai abuse of transfer pricing.
Transfer Pricing Dalam negeri
Transfer pricing dalam negeri adalah harga transfer barang atau jasa antar badan satu grup perusahaan atau antardivisi dalam satu perusahaan dalam satu wilayah kedaulatan negara, Berikut ini beberapa motivasi dan tujuan dilakukannya transfer pricing dalam negeri :
a. Tujuan
- Evaluasi Kinerja (mengukur hasil operasi setiap unit)
- Motivasi Manajemen (penyusunan orientasi produksi dan laba pada semua unit)
- Pengendalian harga untuk lebih merefleksikan “Cost” dan “margin” yang seharusnya diterima dari langganan dan penetapan harga optimal.
- Pengendalian pasar untuk mengamankan posisi kompetitif perusahaan.
b. Motivasi
- Pengurangan objek pajak (terutama pajak penghasilan);
- Penurunan pengaruh depresiasi rupiah;
- Menguatkan tuntutan kenaikan harga atau proteksi terhadap saingan impor;
- Mempertahankan sikap low profile atau konservatisme tanpa memperdulikan tingkat keuntungan usaha;
- Pengamanan perusahaan dari tuntutan atas imbalan prestasi pimpinan atau kesejahteraan karyawan dan kepedulian lingkungan (ekologi dan masyarakat)
- Memperkecil akibat pembatasan, dan ketidak pastian atas resiko kegiatan usaha perusahaan luar negeri;
Dari uraian di atas nampak bahwa pada prinsipnya praktik transfer pricing dengan harga yang tidak sama dengan harga pasar dapat didorong oleh karena alasan pajak (tax motive) maupun bukan pajak (non – tax motive). Berbagai pengalaman di Indonesia menunjukkan hal tersebut. Motivasi pajak atas praktik transfer pricing dilaksanakan dengan sedapat mungkin memindahkan penghasilan dari tarif pajak yang tinggi ke tarif pajak yang lebih rendah.
Ketentuan Perpajakan
Dalam pasal 2 ayat (2) Peraturan Direktur Jenderal Pajak nomor PER-32/PJ/2011 tentang perubahan atas peraturan direktur jenderal pajak PER-43/PJ/2010 tentang penerapan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha dalam transaksi antara Wajib Pajak dengan pihak yang mempunyai hubungan istimewa yang berbunyi sebagai berikut :
Pasal 2 ayat (2)
Dalam hal Wajib Pajak melakukan transaksi dengan pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa yang merupakan Wajib Pajak Dalam Negeri atau Bentuk Usaha Tetap di Indonesia, Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini hanya berlaku untuk transaksi yang dilakukan oleh Wajib Pajak dengan pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa untuk memanfaatkan perbedaan tarif pajak yang disebabkan antara lain:
- perlakuan pengenaan Pajak Penghasilan final atau tidak final pada sektor usaha tertentu;
- perlakuan pengenaan Pajak Penjualan atas Barang Mewah; atau
- transaksi yang dilakukan dengan Wajib Pajak Kontraktor Kontrak Kerja Sama Migas.
Berdasarkan ketentuan sebagaimana disebutkan di atas dapat disimpulkan bahwa contoh yang disebutkan yang meliputi ke 3 (tiga) hal tersebut bersifat dinamis hal ini dipertegas dengan kata “antara lain”, yang pada prinsipnya adalah adanya unsur memanfaatkan perbedaan tarif pajak.
Contoh Kasus
Perusahaan PT. A melakukan penjualan kepada PT. B (perusahaan Independen) dan kepada PT. C (perusahaan yang memiliki hubungan istimewa) yang kesemua perusahaan ini berada di wilayah Indonesia. Dalam melakukan transaksi penjualan PT. A memberikan potongan penjualan yang berbeda kepada perusahaan independen (PT. B) misal sebesar 5% dan perusahaan yang memiliki hubungan istimewa PT. C dengan potongan penjualan sebesar 15%. Dalam kasus ini keberadaan dan fungsi antara PT. B dan C adalah sama.
Diketahui bahwa PT. C adalah perusahaan terbuka yang sebagian besar sahamnya (55%) dikuasai oleh publik. Maka sesuai Peraturan Pemerintah nomor PP-56 tahun 2015 tentang perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2013 tentang penurunan tarif Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak badan dalam negeri yang berbentuk perseroan terbuka.
Atas kasus di atas dapat disimpulkan bahwa PT. A dalam transaksi penjualan dan dalam pemberian potongan penjualan ke PT. C wajib menerapkan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha (Arm’s Length Principle/ALP).
Penutup
Melihat beberapa fenomena yang terjadi, transfer pricing dalam negeri yang diatur hanya sebatas adanya perbedaan tarif sebagaimana contoh kasus di atas sementara varian yang terjadi tidak terbatas, semisal apabila transaksi dengan yang memiliki hubungan istimewa dalam keadaan merugi atau lebih bayar.
Kata “antara lain” dalam ketentuan pasal 2 ayat 2 PER-32/PJ/2011 tentang perubahan atas peraturan direktur jenderal pajak PER-43/PJ/2010 hanya melimitasi pada “perbedaan tarif pajak” namun tidak pada saat kondisi merugi atau lebih bayar. Selama ini hal yang umum dilakukan oleh pejabat fungsional pemeriksa pajak terhadap kondisi transaksi hubungan istimewa dalam negeri, dimana salah satu pihak dalam keadaan merugi atau lebih bayar adalah dengan dasar pertimbangan profesional (professional judgement).
…
Sumber : www.nusahati.com