ABS Corporation Perusahaan Induk yang terletak di Filipina memproduksi suatu produk dengan harga pokok Rp. 20.000,- tarif pajak atas badan  yang berlaku di negara tersebut adalah 30%. Untuk menghindari pengenaan pajak dengan tarif tinggi, perusahaan induk memutuskan untuk menjual produk tersebut ke anak perusahaan yang ada di  Singapura dengan harga transfer yang sama dengan harga pokok yaitu Rp. 20.000,- hal ini menyebabkan pajak yang terutang atas transaksi penjualan antar perusahaan induk dan anak perusahaan adalah Rp. 0,-.

Atas barang yang sudah dibeli dijual  oleh anak perusahaan yang berada di Singapura ke anak perusahaan yang lain yang ada di Indonesia dengan harga transfer Rp. 30.000,- tarif pajak yang berlaku di negara Singapura adalah  10%. Transaksi ini menimbulkan laba sebesar Rp. 10.000,-. Atas laba yang timbul, terutang pajak sebesar Rp. 1.000,-. Atas barang yang yang sudah dibeli dijual kembali ke perusahaan yang tidak memiliki hubungan istimewa di Indonesia.

Kebijaksanaan menetapkan harga jual ini dimaksudkan untuk menghindari pajak dengan tarif yang tinggi yang berlaku di negara yang bersangkutan (Filipina). Metode transaksi tersebut di atas adalah salah satu contoh  praktek penghindaran pajak melalui transfer pricing antar negara (kepada yang memiliki hubungan istimewa) yang masuk kategori harga tidak wajar.

Dalam tulisan-tulisan terdahulu telah dibahas terkait transaksi dengan hubungan istimewa yang perlu kita ketahui diantaranya adalah :

Beberapa Praktek penentuan harga transfer dalam suatu perusahaan diantaranya :

Penentuan Harga Penjualan

PT. Nusa Sale Indonesia (NSI) memiliki 25% saham PT. Nusa Online Selaras (NOS). Atas penjualan barang dari PT. NSI ke PT. NOS, PT. NSI menerbitkan faktur dengan DPP  harga jual sebesar  Rp 800.000,- per unit. Hal yang berbeda dengan harga jual yang ditagih atas penyerahan barang yang sama kepada PT. Siapa Lo Olang (SLO) yang notabene tidak memiliki hubungan istimewa dengan DPP Harga jual sebesar Rp. 1.050.000,- per unit. 

Dalam contoh tersebut di atas, harga senilai Rp 800.000,- per unit merupakan Harga Transfer yang berada di bawah Harga Pasar yaitu sebesar  Rp 1.050.000,- sehingga nilai yang seharusnya diperhitungkan sebagai perhitungan penghasilan atau pengenaan pajak adalah Rp 1.050.000,- per unit. Pendekatan semacam ini dikenal dengan metode Comparable Uncontrolled Price (CUP) atau metode perbandingan harga antara pihak yang independen.

Penentuan Harga Pembelian

PT. Nusa Kairos Sejati (NKS)  memiliki 25% saham PT Lexus Sejati Abadi (LSA). PT. NKS membeli barang produksi PT. LSA dengan harga pembelian Rp7.500,- per unit. PT. NKS kemudian menjual kembali produk tersebut ke PT. Haya Elo Sape (HES) tidak berafiliasi dengan harga Rp8.750,- per unit.

Dalam kondisi ini, Seandainya laba yang diperoleh dari penjualan ke PT HES adalah Rp2.000,- per unit. Maka Harga Pasar yang wajar atas pembelian oleh PT. NKS dari PT. LSA adalah Rp8.750- Rp2.000 yaitu Rp6.750,- per unit. Ini berarti terdapat selisih lebih Rp7.500-Rp6.750 atau senilai Rp750,- yang dapat diperhitungkan sebagai penghasilan lain (sering disebut dengan Dividen Terselubung).

Pembebanan Bunga

PT. Boha Mambaen Kedan (BMK) memiliki 70% saham PT . Ai So Ise (ASI). Atas kepemilikan saham tersebut PT. BMK berkewajiban menyetorkan modal ke PT. ASI. Namun masih terdapat modal yang belum disetorkan sebesar Rp600.000.000,-. Dari catatan PT. BMK, diketahui terdapat pinjaman sebesar Rp800.000.000,- dengan bunga sebesar 15% atau Rp120.000.000,- per tahun. Tingkat bunga yang berlaku pada saat itu adalah 12%.

Dari ilustrasi ini, nilai pinjaman yang menjadi dasar perhitungan beban bunga seharusnya adalah Rp200.000.000,- (Rp800.000.000,- – Rp600.000.000,-) dengan tarif 12%. Sehingga biaya bunga yang boleh dibebankan adalah sebesar Rp24.000.000,- dan selisih signifikan senilai Rp96.000.000,- (Rp120.000.000,- – Rp24.000.000,-) merupakan penghasilan lain yang kerap diidentikkan dengan pembayaran Dividen Terselubung.

Pembelian Aset oleh Pemegang Saham

Tuan Takur memiliki 45% saham PT. Jiwa Mandiri Sekata (JMS). Pada suatu waktu, harta PT. JMS  berupa mesin dibeli Tuan Takur dengan harga Rp150.000.000,-. Harga Pasar mesin serupa pada saat yang sama adalah Rp275.000.000,-. Dalam kondisi ini, penghasilan yang diterima PT. JMS atas penjualan mesin seharusnya adalah Rp275.000.000,- atau dikoreksi positif sebesar Rp125.000.000 (Rp275.000.000,- – Rp150.000.000,-). Terhadap Tuan Takur, nilai sebesar Rp125.000.000,- tersebut merupakan penghasilan pasif (dividen) yang harus dipotong PPh Pasal 23 sebesar 15%.

Bagian Strategi Bisnis

Berdasarkan contoh rekayasa bisnis di atas adalah merupakan suatu strategi bisnis suatu perusahaan untuk melakukan efisiensi biaya (termasuk pajak) yang tampaknya wajar dan tidak memiliki sifat fraud. Namun, rekayasa ini menyebabkan berkurangnya potensi pajak suatu negara. Sehingga masing-masing negara mengeluarkan ketentuan-ketentuan anti penghindaran pajak termasuk dengan Indonesia yaitu menjadikan prinsip kewajaran dan kelasjiman usaha (Arm’s Lenght Principle) sebagai pedoman dalam menentukan kewajaran suatu transaksi atau harga. Salah satunya adalah dengan membandingkan transaksi yang sama anatara pihak yang memiliki hubungan istimewa dengan yang tidak memiliki hubungan istimewa.