Ada seorang pembicara yang terkenal dan laris yang selalu dipanggil sebagai pembicara oleh kantor, lembaga, media radio, televisi, majalah dan lain sebagainya bahkan menjadi bintang iklan untuk beberapa produk sekaligus, kita sebut saja namanya “Bunga”.  Namun dalam menyampaikan SPT Tahunan Orang Pribadi jumlah kurang bayarnya sangatlah kecil, ketika dihimbau untuk membetulkan SPT Tahunannya. Bunga melalui kuasa-nya tetap mengatakan bahwa SPT Tahunan PPh Orang Pribadinya sudah benar, lengkap dan jelas.

Petugas pajak melakukan himbauan kepada wajib pajak pastilah karena suatu dasar, dan Bunga selalu mengatakan bahwa selama dia bekerja pajaknya selalu dipotong oleh pihak penyelenggara, lalu apa lagi yang harus dibayar!, begitulah selalu jawaban andalan?!

Untuk menjawab kebenaran perkataan Bunga, mari coba kita sama-sama simak ilustrasi perpajakannya dengan total penghasilan yang diakui oleh Bunga melalui kuasa-nya selama tahun 2018 sebagai berikut;

  • Honor yang diperoleh bunga saat menjadi pembicara selama 2 (dua) jam disebuah televisi swasta nasional sebesar Rp. 45.000.000,-, pajak yang dipotong oleh penyelenggara adalah sebesar Rp. 1.125.000,- dengan dasar penghitungan (Rp. 45.000.000,- X 50% x 5%). Bunga menerima tunai sebesar Rp. 43.875.000,- dan bukti potong dari telivisi swasta tersebut. Dalam satu tahun televisi swasta ini mengundang menjadi pembicara  selama 7 kali dengan nilai pembayaran yang sama. Dan total yang diterima sebesar Rp. 296.375.000,- dengan bukti potong sebesar Rp. 18.625.000,-
  • Menjadi bintang iklan untuk suatu produk selama 6 bulan disalah satu tv swasta nasional yang berbeda sebesar Rp. 200.000.000,- Total yang diterima sebesar Rp. 190.000.000,- dan bukti potong sebesar Rp. 10.000.000,-
  • Menerima undangan dari Orang Pribadi dengan total honor yang diterima sebesar Rp. 120.000.000,- (tidak ada bukti potong).
  • Selama tahun 2018 Bunga telah menyetor PPh Pasal 25 sebesar Rp. 1.200.000,-
  • Terdapat bukti potong yang belum dilaporkan oleh Bunga dari beberapa stasiun televisi swasta lainnya sebesar Rp. 15.000.000,- dengan total penghasilan sebesar Rp. 600.000.000,- (Setiap penghasilan yang dipotong oleh pihak ketiga akan terdeteksi oleh sistem internal DJP).

Maka dalam Himbauan yang disampaikan oleh petugas pajak dengan rincian penghitungan kurang bayar sebagai berikut :

Dalam perhitungan tersebut Bunga diminta untuk menyetorkan PPh Orang Pribadi yang kurang bayar selama tahun 2018, namun tetap saja tidak mau sementara kuasa-nya pun angkat tangan. Padahal data tersebut jelas-jelas data berdasarkan bukti potong dari pihak ketiga belum termasuk penghasilan-penghasilan yang mungkin saja diterima oleh Bunga yang tanpa ada bukti potong walaupun berdasarkan data di atas dilaporkan hanya Rp. 120.000.000,- hal tersebut hanya Bunga yang tahu.

Hal tersebut hanya salah satu ilustrasi bahwa demikian sulitnya menghimbau wajib pajak untuk menyetorkan pajaknya walaupun dengan data yang sudah jelas. Dan ada banyak pernik-pernik yang dialami petugas pajak dilapangan dalam rangka memenuhi target yang sudah ditentukan oleh pemerintah yang selalu meningkat tiap tahunnya.

Indonesia Dan Direktorat Jenderal Pajak

Melihat negara Indonesia dimana di dalamnya ada Direktorat Jenderal Pajak (DJP), saya teringat dengan Howards Hughes (1975) salah satu orang terkaya di Amerika yang mati karena kelaparan. Lalu apa hubungannya dengan DJP, Indonesia?

Kita tahu dan sadar Indonesia adalah negara yang diberkati, baik Sumber Daya Alamnya, Sumber Daya Manusianya, bahkan situasi keamanannya yang cukup baik dibandingkan beberapa negara yang selalu terjadi konflik dan perang. Namun, terjadi ketidakmerataan yang dialami oleh rakyatnya, sebagian bergelimang harta, sebagian bahkan hari ini pun mungkin belum makan.

Salah satu fungsi pajak adalah untuk keseimbangan, keseimbangan antara ekonomi individu yang berkelebihan dan yang berkekurangan (kaya dan miskin). Namun ternyata itu tidak terjadi, banyak rakyatnya yang mati sia-sia akibat miskin dan kurang gizi. Maka rakyat yang miskin dan kurang gizi tersebut adalah suatu kesalahan, karena mereka hidup di bumi Indonesia yang kaya.

Pemilu baru saja usai, penghitungan pemenang sedang berjalan namun siapapun presiden terpilih nanti bahwasanya besar rasa optimisme rakyat Indonesia untuk perubahan yang lebih baik, demikian pula harapan penulis sehingga apa yang terjadi terhadap Horward Hughes tidak terjadi bagi rakyat Indonesia. Demikian pula dengan penghitungan fiskus terhadap pembicara top di atas jika memang sumber penghasilannya sesuai dengan himbauan tersebut, maka bayarlah dan mari kita awasi penggunaan anggaran yang bersumber dari pajak kita tersebut.

 

Diambil dan diedit kembali dari tulisan yang berjudul ” Petugas Pajak, Buruh Yang Terlupakan!” dengan alamat http://www.nusahati.com/2014/10/petugas-pajak-buruh-yang-terlupakan/.