Sebagaimana kita ketahui dalam Bab IV Pasal 4 dalam UU No 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan yang disahkan dan ditetapkan tanggal 29 Oktober 2021 berbicara tentang perubahan Pajak Pertambahan Nilai. Pengaturan kembali ketentuan PPN dalam UU HPP ini berlaku 1 April 2022 kecuali ketentuan pada Pasal 7 ayat (1) huruf b tentang tarif PPN 12% yang berlaku paling lambat 1 Januari 2025.

Adapun latar belakang pengaturan kembali Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah C-Efficiency Ratio yang belum optimal yakni 0.6. VAT effeciency ratio dihitung dengan rumus Penerimaan PPN dibagi (Tarif PPN X PDB), pengukuran ini dianggap lebih tepat daripada pengukuran VAT Ratio karena angka penyebut dianggap telah mempertimbangkan basis pajak yang lebih riil. VAT effeciency ratio rendah akibat masih banyaknya terdapat barang dan jasa yang belum masuk ke dalam sistem serta fasilitas PPN yang diberikan. Oleh karena itu dalam rangka memperluas basis pemajakan maka Non BKP dan Non JKP menjadi BKP dan JKP sehingga dapat masuk ke dalam sistem.

1. Pengurangan Objek

Pengurangan atas pengecualian objek PPN diberikan agar lebih mencerminkan keadilan dan tepat sasaran, serta dengan tetap menjaga kepentingan masyarakat dan dunia usaha.

Non Barang Kena Pajak (BKP) Menjadi BKP

Jika sebelumnya termasuk Non BKP seperti barang kebutuhan pokok dan barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya. Kini menjadi Barang Kena Pajak namun diberikan fasilitas dibebaskan dari pengenaan PPN yang diberikan secara selektif dan terbatas.

Demikian juga dengan makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung, dan sejenisnya, meliputi makanan dan minuman baik yang dikonsumsi di tempat maupun tidak, termasuk makanan dan minuman yang diserahkan oleh usaha jasa boga atau katering. Juga uang, emas batangan untuk kepentingan cadangan devisa negara, dan surat berharga. Jika sebelumnya merupakan Non BKP, dengan ketentuan UU HPP dikeluarkan menjadi BKP namun dipertegas sebagai objek PDRD khusus untuk makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung, dan sejenisnya, termasuk makanan dan minuman yang diserahkan oleh usaha jasa boga atau katering.

Non Jasa Kena Pajak (JKP) Menjadi JKP

Jika sebelumnya termasuk Non JKP seperti jasa pelayanan kesehatan medik, jasa pelayanan sosial, jasa pengiriman surat dengan perangko,  jasa keuangan, jasa asuransi, jasa pendidikan, jasa penyiaran yang tidak bersifat iklan, jasa angkutan umum di darat dan di air serta jasa angkutan udara dalam negeri yang menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari jasa angkutan udara luar negeri, jasa tenaga kerja, jasa telepon umum dengan menggunakan uang logam, dan jasa pengiriman uang dengan wesel pos kini menjadi JKP namun diberikan fasilitas tidak dipungut atau dibebaskan dari pengenaan PPN yang diberikan secara selektif dan terbatas.

Namun, beberapa masih tetap menjadi Non JKP seperti jasa keagamaan, jasa yang disediakan oleh pemerintah dalam rangka menjalankan pemerintahan secara umum, meliputi semua jenis jasa sehubungan dengan kegiatan pelayanan yang hanya dapat dilakukan oleh pemerintah sesuai dengan kewenangannya berdasarkan peraturan perundang-undangan dan jasa tersebut tidak dapat disediakan oleh bentuk usaha lain. Dan khusus jasa kesenian dan hiburan, jasa perhotelan, jasa penyediaan tempat parkir; dan jasa boga atau katering disamping tetap sebagai Non JKP juga dipertegas sebagai objek Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD).

2. Pengurangan Fasilitas

Pengurangan fasilitas PPN diberikan agar lebih mencerminkan keadilan dan tepat sasaran, serta dengan tetap menjaga kepentingan masyarakat dan dunia usaha. Adapun fasilitas yang dihapus sebagaimana diatur dalam Pasal 16B diantaranya :

  • d.. menjamin tersedianya peralatan Tentara Nasional Indonesia/Kepolisian Republik Indonesia (TNI/POLRI) yang memadai untuk melindungi wilayah Republik Indonesia dari ancaman eksternal maupun internal;
  • e. menjamin tersedianya data batas dan foto udara wilayah Republik Indonesia yang dilakukan oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI) untuk mendukung pertahanan nasional.
  • h. menjamin tersedianya perumahan yang harganya terjangkau oleh masyarakat lapisan bawah, yaitu rumah sederhana, rumah sangat sederhana, dan rumah susun sederhana.
  • i. mendorong pengembangan armada nasional di bidang angkutan darat, air, dan udara;
  • j. mendorong pembangunan nasional dengan membantu tersedianya barang yang bersifat strategis, seperti bahan baku kerajinan perak;
  • n. menjamin tersedianya air bersih dan listrik yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat; dan/atau

menambah satu, yaitu poin j. mendukung tersedianya barang dan jasa tertentu yang bersifat strategis dalam rangka pembangunan nasional, antara lain (beberapa barang dan jasa ex pasal 4A diberikan fasilitas dibebaskan dari pengenaan PPN):

  • barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak meliputi beras, gabah, jagung, sagu, kedelai, garam (beryodium dan tidak beryodium), daging, telur, susu, buah-buahan, sayur-sayuran;
  • jasa pelayanan kesehatan medis;
  • jasa pelayanan sosial;
  • jasa keuangan;
  • jasa asuransi;
  • jasa pendidikan;
  • jasa angkutan umum di darat dan di air serta jasa angkutan udara dalam negeri yang menjadi bagian tidak terpisahkan dari jasa angkutan luar negeri;
  • jasa tenaga kerja.

3. Kenaikan Tarif

Sebagaimana diketahui bahwasanya tarif PPN Indonesia masih dibawah rata-rata tarif global (15,4%), negara OECD (19%), atau Negara BRICS (17%). Jika dibandingkan dengan negara tetangga di Asia Indonesia tarif PPN masih dibawah sebut saja Filipina (12%), Arab Saudi 15%, Korea Utara (17%), Pakistan (17%), dan India (18%).

Adapun penyesuaian tarif PPN yang sebelumnya sebesar 10% kini menjadi :

  • sebesar 11% (sebelas persen) yang mulai berlaku pada tanggal 1 April 2022;
  • sebesar 12% (dua belas persen) yang mulai berlaku paling lambat pada tanggal 1 Januari 2025

Perubahan tarif Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana tentunya diatur dengan Peraturan Pemerintah setelah disampaikan oleh pemerintah kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia untuk dibahas dan disepakati dalam penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

Sama dengan ketentuan sebelumnya PPN yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif dengan Dasar Pengenaan Pajak yang meliputi Harga Jual, Penggantian, Nilai Impor, Nilai Ekspor, atau nilai lain. Dan kaitan Pajak Masukan dipertegas, dimana Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak, impor Barang Kena Pajak, serta pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean, yang dalam penghitungan Pajak Pertambahan Nilai terutang menggunakan Dasar Pengenaan Pajak berupa nilai lain, dapat dikreditkan.

4. Kemudahan dan Penyederhanaan

Terdapat penambahan pasal baru yaitu Pasal 9A, dengan pertimbangan :

  • Untuk memberikan kemudahan dalam menghitung dan menyetor jumlah pajak, dapat dilakukan dengan menggunakan Dasar Pengenaan Pajak yang meliputi Harga Jual, Penggantian, Nilai Impor, Nilai Ekspor, atau nilai lain.
  • Untuk memberikan kemudahan dan penyederhanaan administrasi perpajakan serta menghitung dan menyetor rasa keadilan, PKP dapat jumlah pajak dengan cara menggunakan besaran tertentu serta dengan mekanisme yang disederhanakan bagi PKP yang peredaran usahanya tidak melebihi jumlah tertentu dan yang melakukan kegiatan usaha tertentu.
  • Untuk kemudahan dalam pemungutan PPN, atas jenis barang/jasa tertentu atau sektor usaha tertentu diterapkan tarif PPN ‘final’ misalnya
    1%, 2% atau 3% dari peredaran usaha, yang diatur dengan PMK.

Besaran Tertentu

Pengusaha Kena Pajak dengan ketentuan:

  • mempunyai peredaran usaha dalam 1 (satu) tahun buku tidak melebihi jumlah tertentu;
  • melakukan kegiatan usaha tertentu;
  • melakukan penyerahan Barang Kena Pajak tertentu dan/atau Jasa Kena Pajak tertentu

dapat memungut PPN yang terutang dengan besaran tertentu. Namun, Atas Pajak Masukan perolehan BKP/JKP, impor BKP, dan pemanfaatan JKP/BKP tidak berwujud oleh PKP tersebut tidak dapat dikreditkan. Adapun jenis usaha ini meliputi :

  • PKP dengan peredaran usaha kurang dari 4,8 miliar;
  • penyerahan jasa pengiriman paket;
  • penyerahan jasa biro perjalanan wisata dan/atau jasa agen perjalanan wisata berupa penyerahan paket wisata, pemesanan sarana angkutan, dan pemesanan sarana akomodasi yang penyerahannya tidak didasari pada pemberian komisi/imbalan atas penyerahan jasa perantara penjualan;
  • penyerahan jasa pengurusan transportasi (freight forwarding) yang di dalam tagihan jasa pengurusan transportasi tersebut terdapat biaya transportasi (freight charges);

5. Pengkreditan Pajak Masukan

a. Melalui Pengkreditan PM

Apabila dalam suatu Masa Pajak Pengusaha Kena Pajak melakukan :

  1. dalam penyerahan yang terutang pajak dan Pajak Masukan yang berkenaan dengan penyerahannya dapat dikreditkan; dan
  2. penyerahan yang terutang pajak dan Pajak Masukan yang berkenaan dengan penyerahannya tidak dapat dikreditkan dan/atau penyerahan yang tidak terutang pajak

Dalam hal bagian penyerahan yang terutang pajak dapat diketahui dengan pasti dari pembukuannya, , jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan merupakan Pajak Masukan yang berkenaan dengan penyerahan sebagaimana dimaksud nomor 1.

b.  Melalui Pedoman Pengkreditan PM

Apabila dalam suatu Masa Pajak Pengusaha Kena Pajak melakukan:

  1. penyerahan yang terutang pajak dan Pajak Masukan yang berkenaan dengan penyerahannya dapat dikreditkan; dan
  2. penyerahan yang terutang pajak dan Pajak Masukan yang berkenaan dengan penyerahannya tidak dapat dikreditkan dan/atau penyerahan yang tidak terutang pajak;

sedangkan Pajak Masukan sehubungan dengan penyerahan yang terutang pajak tidak dapat diketahui dengan pasti, jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan dihitung dengan menggunakan pedoman pengkreditan Pajak Masukan.

Secara prinsip Pajak Masukan dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran, akan tetapi untuk pengeluaran atas perolehan BKP atau JKP yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha Pajak Masukannya tidak dapat dikreditkan. Yang dimaksud dengan pengeluaran yang langsung berhubungan dengan kegiatan usaha adalah pengeluaran untuk kegiatan produksi, distribusi, pemasaran, dan manajemen.

6. Pendelegasian Wewenang

Terdapat penambahan Pasal 16G dimana pendelegasian wewenang diberikan kepada Menteri Keuangan. Adapun jetentuan lebih lanjut mengenai:

  • a. nilai lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8A ayat (1);
  • b. kriteria belum melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dan/atau ekspor Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2a);
  • c. penghitungan dan tata cara pengembalian kelebihan Pajak Masukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (4c);
  • d. Pengusaha Kena Pajak berisiko rendah yang diberikan pengembalian pendahuluan kelebihan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (4c);
  • e. pedoman pengkreditan pajak masukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (6);
  • f. penentuan sektor usaha tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (6c);
  • g. pembayaran kembali Pajak Masukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (6e) huruf a;
  • h. pengkreditan Pajak Masukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (9a), ayat (9b), dan ayat (9c);
  • i. jumlah peredaran usaha tertentu, jenis kegiatan usaha tertentu, jenis Barang Kena Pajak tertentu, jenis Jasa Kena Pajak tertentu, dan besaran Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut dan disetor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9A ayat (1),

diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan.

Sumber : www.nusahati.com