Dalam tulisan terdahulu banyak sekali dibahas tentang Bentuk Usaha Tetap diantaranya :
- Penegasan Bentuk Usaha Tetap;
- Sekilas Tentang Bentuk Usaha Tetap;
- Perpajakan Atas Bentuk Usaha Tetap
- Abuse Of Law dalam Restitusi BUT Konstruksi & KSO?
- Penerapan Pasal 26 ayat (4) atas BUT Jasa Konstruksi
karena Bentuk usaha tetap adalah merupakan Subjek Pajak Luar Negeri yang diperlakukan sebagai Subjek Pajak Badan Dalam Negeri. Pula sebagaimana kita ketahui bahwasanya kehadiran fisik bukan lagi menjadi syarat mutlak menjadi subjek pajak Bentuk Usaha Tetap (BUT) melainkan juga adanya nilai tambah yang dihasilkan (significant economic presence) menjadi salah satu komponen pembentuk BUT.
Maka, berdasarkan Pasal 5 UU PPh dan Pasal 7 Tax treaty, Penghasilan yang terutang suatu BUT di Indonesia yaitu penghasilan yang diterima atau diperoleh di Indonesia yang meliputi :
- Attribution Rule; penghasilan suatu BUT perusahaan asing di indonesia adalah penghasilan yang berasal dari kegiatan usahanya di Indonesia. Misalnya, apabila BUT perusahaan asing tersebut bergerak di bidang perdagangan, maka penghasilannya di Indonesia adalah penghasilan yang berasal dari kegiatan usaha perdagangannya di Indonesia;
- Force of Attraction Rule; penghasilan suatu BUT perusahaan asing di Indonesia adalah termasuk penghasilan kantor pusatnya dari Indonesia yang diperolehnya dari kegiatan usaha yang sejenis dengan kegiatan BUTnya di Indonesia. Dengan demikian, penghasilan yang diterima atau diperoleh kantor pusatnya dianggap sebagai penghasilan BUT nya di Indonesia;
- Effectively Connected Rule, penghasilan pasif (misalnya; bunga dan royalty) yang diterima atau diperoleh kantor pusatnya dan memiliki hubungan efektif dengan kegiatan usaha BUT nya di Indonesia dianggap sebagai penghasilan BUT di Indonesia.
Dalam tulisan berikut ini akan coba dibahas khusus Force of Attraction Rule, apa saja cakupan penghasilan kantor pusat (Headquarters/HQ) yang berasal dari usaha atau kegiatan, penjualan barang, dan pemberian jasa yang sejenis dengan yang dilakukan oleh BUT dianggap sebagai penghasilan BUT, karena aktifitas tersebut dianggap ruang lingkup usaha atau kegiatan yang dapat dilakukan oleh BUT.
Pendapatan BUT : Force Of Attraction
Hal yang perlu menjadi pegangan, antara Kantor Pusat (Headquarters/HQ) dan Bentuk Usaha Tetap (BUT) merupakan entitas yang sama, namun karena beda otoritas perpajakan maka BUT di satu sisi dianggap sebagai satu entitas yang sama di sisi yang lain sebagai entitas yang berbeda.
Disebutkan bahwasanya penghasilan Kantor Pusat (HQ) yang bersumber dari usaha atau kegiatan baik penjualan barang atau pemberian jasa, yang sejenis dengan yang dilakukan oleh BUT, dianggap sebagai penghasilan BUT. Adapun yang menjadi dasar dianggap sebagai penghasilan BUT karena usaha atau kegiatan tersebut dapat dilakukan oleh BUT.
Contoh :
- Sebuah BUT Perbankan, jika Bank luar negeri memiliki BUT di Indonesia lalu memberikan pinjaman secara langsung kepada nasabah melalui Kantor Pusat (HQ) tanpa melalui BUT di Indonesia. Karena di Indonesia terdapat BUT yang dianggap seharusnya nasabah bisa melakukan melalui BUT maka atas penghasilan dari pemberian pinjaman tersebut dianggap penghasilan BUT di Indonesia.
- Sebuah BUT Konsultasi, pemberian jasa konsultasi yang diberikan oleh Kantor Pusat (HQ) secara langsung kepada Klien di Indonesia sementara di Indonesia memiliki BUT maka, penghasilan atas jasa konsultasi Kantor Pusat tadi dimasukkan sebagai penghasilan BUT di Indonesia.
- Sebuah BUT Konstruksi Terintegrasi (EPC), atas pengadaan (procurement) dilakukan pembelian oleh pemilik proyek langsung ke Kantor Pusat (HQ) sementara di Indonesia memiliki BUT, maka penghasilan atas pengadaan (procurement) Kantor Pusat dianggap penghasilan BUT di Indonesia.
Biaya BUT : Force Of Attraction
Baik UU PPh maupun UU Tax Treaty mengatur bahwasanya biaya-biaya yang berkenan dengan penghasilan boleh dikurangkan dari penghasilan BUT termasuk biaya yang dikeluarkan dalam rangka Force of Attraction Rule tadi. Artinya semua biaya yang dikeluarkan sebagaimana contoh BUT Konstruksi Terintegrasi (EPC) di atas dapat dibebankan sebagai biaya pada Harga Pokok Penjualan dari BUT di Indonesia hal ini sesuai prinsip biaya dalam rangka mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan (berhubungan langsung).
Dalam pasal 5 ayat (2) UU HPP – PPh, menyebutkan dalam menentukan besarnya laba suatu BUT :
- biaya administrasi kantor pusat yang diperbolehkan untuk dibebankan adalah biaya yang berkaitan dengan usaha atau kegiatan bentuk usaha tetap, yang besarnya ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak;
- pembayaran kepada kantor pusat yang tidak diperbolehkan dibebankan sebagai biaya adalah:
- royalti atau imbalan lainnya sehubungan dengan penggunaan harta, paten, atau hak-hak lainnya;
- imbalan sehubungan dengan jasa manajemen dan jasa lainnya;
- bunga, kecuali bunga yang berkenaan dengan usaha perbankan;
Pada dasarnya bentuk usaha tetap merupakan satu kesatuan dengan kantor pusatnya, sehingga pembayaran oleh bentuk usaha tetap kepada kantor pusatnya, seperti royalti atas penggunaan harta kantor pusat, merupakan perputaran dana dalam satu perusahaan. Oleh karena itu, berdasarkan ketentuan ini pembayaran bentuk usaha tetap kepada kantor pusatnya berupa royalti, imbalan jasa, dan bunga tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bentuk usaha tetap. Namun apabila kantor pusat dan bentuk usaha tetapnya bergerak dalam bidang usaha perbankan, maka pembayaran berupa bunga pinjaman dapat dibebankan sebagai biaya. Sebagai konsekuensi dari perlakuan tersebut, pembayaran-pembayaran yang sejenis yang diterima oleh bentuk usaha tetap dari kantor pusatnya tidak dianggap sebagai Objek Pajak, kecuali bunga yang diterima oleh bentuk usaha tetap dari kantor pusatnya yang berkenaan dengan usaha perbankan.
Simpulan
Penerapan force of attraction rule yaitu walaupun penghasilan ini adalah penghasilan kantor pusat BUT di luar negeri, tetapi karena berasal dari penjualan atau pemberian jasa yang sejenis dengan yang dilakukan BUT, maka penghasilan ini ditarik sebagai penghasilan BUT-nya di Indonesia, hal ini sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 7 ayat (1) dari UN Model yang menyatakan :
“The profits of an enterprise of a Contracting State shall be taxable only in that State unless the enterprise carries on business in the other Contracting State through a permanent establishment situated therein. If the enterprise carries on business as aforesaid, the profits of the enterprise may be taxed in the other State but only so much of them as is attributable to:
- (a) that permanent establishment;
- (b) sales in that other State of goods or merchandise of the same or similar kind as those sold through that permanent establishment; or
- (c) other business activities carried on in that other State of the same or similar kind as those effected through that permanent establishment.”
Berdasarkan kutipan peraturan UN Model di atas, diketahui terdapat unsur force of attraction rule concept, yaitu prinsip yang menyatakan bahwa penghasilan dari BUT yang merupakan objek pajak mencakup laba yang diperoleh dari penjualan barang maupun laba dari transaksi-transaksi lainnya yang sejenis atau sama dengan yang dilakukan oleh kantor pusat, berbeda dengan OECD Model yang menganut prinsip factual attribution rule. Namun, secara umum kedua model dikombinasikan dalam pembentukan P3B antara Indonesia dengan suatu negara dengan pertimbangan keuntungan berdasarkan keadilan bagi Indonesia.
…
Sumber : www.nusahati.com