Dalam tulisan terdahulu yang berjudul Seri UU HPP – Program Pengungkapan Sukarela telah dijelaskan bahwa ada 2 (dua) skema atau kebijakan yang dapat dimanfaatkan oleh Wajib Pajak, dimana masing-masing skema memiliki subjek, basis aset, dan tarif yang berbeda. Maka untuk lebih memahami skema tersebut dengan lebih detail serta telah terbitnya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 196 Tahun 2021 tentang tata cara pelaksanaan program pengungkapan sukarela Wajib Pajak. Berikut akan coba diuraikan hal-hal yang perlu dipahami atas kebijakan I dari Program Pengungkapan Sukarela, kiranya dapat menjadi pembanding yang bermanfaat.
Kebijakan I dalam Program Pengungkapan Sukarela adalah kelanjutan dari Pengampunan Pajak (Amnesti Pajak), dimana tujuan Amnesti Pajak sebagaimana UU Nomor 11 Tahun 2016 adalah ditujukan bukan hanya orang-orang yang memiliki harta di luar negeri melainkan semua Subjek Pajak yang memiliki harta namun belum memasukkannya dalam SPT Tahunan, adapun harta dimaksud adalah harta yang diperoleh 1 Januari 1985 s.d. 31 Desember 2015.
Pengungkapan Aset Sukarela (PAS Final)
Dalam aturan turunan UU Amnesti Pajak yaitu Peraturan Menteri Keuangan nomor PMK-118/PMK.03/2016 tentang pelaksanaan UU Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak hanya berlangsung III periode atau hanya sembilan bulan dimana periode I dimulai 1 Juli 2016 s.d. 30 September 2016, periode II dari tanggal 1 Oktober 2016 s.d. 31 Desember 2016, dan periode ke III 1 Januari 2017 s.d. 31 Maret 2017.
Karena pelaksanaannya begitu singkat sementara sanksi yang cukup besar bagi yg ikut TA namun belum sepenuhnya jujur dan bagi yang tidak sempat ikut TA, maka dirasa perlulah dibuatkan suatu media bagi Wajib Pajak untuk tetap dapat mengikuti pengampunan pajak tanpa terkendala oleh ruang dan waktu, maka munculah perubahan ke dua PMK-118/PMK.03/2016 yaitu PMK-165/PMK.03/2017. Dalam aturan perubahan ini atas aset langsung dikalikan tarif sesuai ketentuan dalam Peraturan Pemerintah nomor 36 tahun 2017 tentang pengenaan PPh atas penghasilan tertentu berupa harta bersih yang diperlakukan atau dianggap sebagai penghasilan yaitu :
- Wajib Pajak Badan sebesar 25%;
- Wajib Pajak Orang Pribadi 30%;
- Wajib Pajak tertentu sebesar 12.5%
Walapun dalam UU tentang Amnesti Pajak mengancam akan mengenakan sanksi kenaikan 200% atas Pajak Penghasilan yang tidak atau kurang dibayar akibat ditemukannya data dan/atau informasi harta yang belum diungkap dalam Surat Pernyataan Harta (SPH) dan memberi kelonggaran dengan kebiajkan PAS Final. Namun, sepertinya kebijakan PAS Final ini tidak menarik lagi atau karena euforia Tax Amnesti sudah sirna, bahkan penulis sendiri ikut mengabaikan jalannya PAS Final ini, hingga dikagetkan dengan munculnya Program Pengampunan Pajak (PPS).
Kebijakan ke I Dalam Program Pengampunan Pajak
Keterangan | Kebijakan I |
Subjek | WP OP dan Badan Peserta TA |
Basis Aset | Aset per 31 Desember 2015 yang belum diungkap saat TA |
Tarif |
|
Jika kita perhatikan tabel Kebijakan I dalam Program Pengungkapan Sukarela ini maka dapat disimpulkan bahwasanya Kebijakan I ini melanjutkan program PAS Final yang pernah ada sebelumnya, hanya bedanya lebih kepada tarif. Berikut diberikan contoh besaran PPh Final yang wajib disetorkan atas Aset yang diungkap dan tidak diinvestasikan.
Contoh Ikut PAS Final
Wajib Pajak Darmawan (Wajib Pajak Tertentu) melakukan Pengungkapan Aset Sukarela (PAS) atas sebuah vila di Ciloto – Bogor senilai Rp. 1.200.000.000,- yang dibeli 22 April 2014 secara cash dan belum dilaporkan dalam Surat Pernyataan Harta (SPH) pada saat mengikuti TA 2016, maka dia akan menyetor sebesar : Rp. 150.000.000,- (Rp. 1.200.000.000,- x 12,5% = Rp. 150.000.000,-). Atas nilai tersebut disetorkan dengan Kode Akun Pajak 411128, Kode Jenis Setoran 422.
Contoh Ikut PPS Kebijakan I Repatriasi Harta LN dan Deklarasi Harta DN
a. Repatriasi Harta LN
Ny. Sumiati Wijaya istri dari seorang pengusaha (NPWP Kepala Keluarga) memilik Deposito di Bank Singapura senilai SGD 750.000,- dengan kurs Menteri keuangan pada tanggal 31 Desember 2015 senilai 1 SGD = Rp. 9.710,53 sehingga nilai Deposito pada akhir tahun 2015 adalah sebesar Rp. 7.282.897.500,-. Atas Deposito ini belum dilaporkan dalam Surat Pernyataan Harta (SPH) pada saat mengikuti TA 2016. Dan saat ini bermaksud mengikuti PPS dengan Repatriasi Harta LN tanpa menginvestasikan, maka dia menyetor sebesar Rp. 582.631.800,- (Rp. 7.282.897.500,- x 8%). Atas nilai tersebut disetorkan dengan Kode Akun Pajak 411128, Kode Jenis Setoran 427.
b. Deklarasi Harta DN
Wajib Pajak Darmawan (Wajib Pajak Orang Pribadi) mengikuti Program Pengungkapan Sukarela atas sebuah vila di Ciloto – Bogor senilai Rp. 1.200.000.000,- yang dibeli 22 April 2014 secara cash dan belum dilaporkan dalam Surat Pernyataan Harta (SPH) pada saat mengikuti TA 2016. Dan saat ini mengikuti PPS hanya Deklarasi Harta DN tanpa menginvestasikan, maka dia akan menyetor sebesar : Rp. 96.000.000,- (Rp. 1.200.000.000,- x 8% = Rp. 96.000.000,-). Atas nilai tersebut disetorkan kode billing dengan Kode Akun Pajak 411128, Kode Jenis Setoran 427.
Mekanisme Pelaporan
Bagi peserta Program Pengungkapan Sukarela harus memiliki NPWP, membayar PPh Final Pengungkapan Harta Bersih, menyampaikan SPT Tahunan PPh OP Tahun 2020 dan mencabut Administrasi Pajak dan Hukum (APH) seperti pengembalian kelebihan pembayaran pajak, permohonan pasal 26 ayat 1 huruf a, b, dan c, permohonan keberatan, pembetulan, banding, gugatan, dan peninjauan kembali.
Untuk penyampaian Program Pengungkapan Sukarela semua dilakukan melalui DJPOnline dengan standar Waktu Indonesia Barat dimana pengajuan dilengkapi dengan (Ilustrasi contoh di atas) :
- NTPN atas pembayaran PPh Final sebesar Rp. 678.631.800,- (Rp. 582.631.800,- + Rp. 96.000.000,-);
- Daftar Rincian Harta Bersih yang belum/kurang ungkap atau belum lapor (Deposito SGD + vila di Ciloto);
- Daftar Utang (jika ada);
- Daftar rincian pencabutan permohonan APH.
…
Sumber : https://nusahati.com/2021/12/pps-kebijakan-i/