Dalam tulisan terdahulu telah dibahas tentang kebijakan I dalam Program Pengungkapan Sukarela, dimana pesertanya adalah Wajib Pajak Badan dan Orang Pribadi peserta Pengampunan Pajak (Tax Amnesty/TA) dan basis pengungkapannya adalah harta per 31 Desember 2015 yang belum diungkap pada saat mengikuti TA. Terkait hal ini dapat dibaca pada tulisan sebelumnya yaitu :
- PPS Kebijakan I – Repatriasi Harta LN dan Deklarasi Harta DN
- PPS Kebijakan I – Deklarasi Harta LN
- PPS Kebijakan I – Repatriasi Harta LN & Deklarasi Harta DN Yang Diinvestasikan
- Wawancara Imajiner – PPS Kebijakan I
Sebagaimana kita ketahui PPS adalah pemberian kesempatan kepada Wajib Pajak untuk melaporkan/mengungkapkan kewajiban perpajakan yang belum dipenuhi secara sukarela melalui pembayaran PPh berdasarkan pengungkapan harta. Dan atas pelaporan PPS dilakukan secara online melalui akun wajib pajak di situs djponline.pajak.go.id dalam jangka waktu 24 jam sehari dan 7 hari seminggu dengan standar Waktu Indonesia Barat.
Kebijakan II Dalam Program Pengampunan Pajak
Keterangan | Kebijakan II |
Subjek | WP Orang Pribadi |
Basis Aset | Harta Perolehan 2016 – 2020 yg belum dilaporkan dalam SPT Tahunan 2020 |
Tarif |
|
Persyaratan PPS Kebijakan II
Wajib Pajak Orang Pribadi yang mengungkapkan harta bersih atas perolehan aset sejak tanggal 1 Januari 2016 sampai dengan tanggal 31 Desember 2020 dapat menyampaikan surat pemberitahuan pengungkapan harta dengan memenuhi persyaratan sebagai berikut:
- Memiliki NPWP;
- Membayar PPh yang bersifat final atas pengungkapan harta;
- Menyampaikan SPT Tahunan PPh OP tahun 2020;
- Mencabut permohonan terkait Administrasi Pajak dan Hukum (APH).
Wajib Pajak Orang Pribadi yang mengungkapkan harta bersih atas perolehan aset sejak tanggal 1 Januari 2016 sampai dengan tanggal 31 Desember 2020 harus memenuhi ketentuan sebagai berikut:
- tidak sedang dilakukan pemeriksaan; kondisi sedang diperiksa yaitu apabila Surat Pemberitahuan Pemeriksaan telah disampaikan kepada WP atau Kuasa.
- tidak sedang dilakukan pemeriksaan bukti pemulaan;
- tidak sedang dilakukan penyidikan atas tindak pidana dibidang perpajakan;
- tidak sedang berada dalam proses peradilan atas tindak pidana dibidang perpajakan; dan/atau
- tidak sedang menjalani hukuman pidana atas tindak pidana di bidang perpajakan.
Manfaat PPS Kebijakan II
- Tidak diterbitkan ketetapan untuk kewajiban 2016-2020, kecuali ditemukan harta kurang diungkap;
- Data/informasi yang bersumber dari SPPH dan lampirannya yang diadministrasikan oleh Kemenkeu atau pihak lain yang berkaitan dengan pelaksanaan dengan UU HPP tidak dapat dijadikan sebagai dasar penyelidikan, penyidikan, dan/atau penuntutan pidana terhadap WP.
Konsekuensi – Kurang Ungkap Harta Pada Kebijakan
Bagi orang pribadi peserta PPS Kebijakan II yang masih terdapat harta 2016 -2020 yang tidak diungkap Wajib Pajak dalam Surat Pemberitahuan Pengungkapan Harta (SPPH), maka :
- Dikenai PPh Final dari Harta Bersih Tambahan dengan tarif 30% (Pasal 11 ayat (2) UU HPP)
- Aset yang kurang diungkap dikenai sanksi bunga per bulan ditambah uplift factor 15% (Sanksi SKPKB Pasal 13 ayat (2) UU KUP). Nilai harta bersih yang belum atau kurang diungkapkan tersebut diperlakukan sebagai penghasilan yang bersifat final pada tahun 2022 dan terhadap penghasilan dikenai PPh yang bersifat final dengan tarif 30%.
Contoh :
Michelle mengikuti Program Pengungkapan Sukarela (PPS), karena beberapa hartanya belum diungkap dalam SPT Tahunan PPh OP Tahun 2020, adapun hartanya berupa mobil di Jakarta yang diperoleh tahun 2018 secara cash dengan harga Rp. 350.000.000,- dan tabungan di salah satu bank di Luar Negeri dengan nilai per akhir tahun 2020 sebesar Rp. 650.000.000,-, serta satu unit rumah di Bandung yang diperoleh tahun 2016 dengan harga perolehan sebesar Rp. 600.000.000,-. Atas harta tersebut Michelle hanya ingin melakukan repatriasi atas tabungan yang di luar negeri dan hanya mendeklarasikan Harta Dalam Negeri saja.
Dasar penghitungan PPh Final untuk Nilai Harta bersih deklarasi dalam negeri/repatriasi adalah :
- Mobil Rp. 350.000.000,-
- Tabungan Rp. 650.000.000,-
Total Rp. 1.000.000.000,- x 14% = Rp. 140.000.000,-
Pada tanggal 15 Januari 2022, Michelle melakukan pembayaran dengan membuat Kode Akun Pajak (KAP) 411128 dan Kode Jenis Setoran (KJS) 428, setelah melakukan pembayaran langsung melaporkannya secara online melalui alamat djponline.pajak.go.id dengan tahapan mengunduh dan mengisi Form harta yang diungkap terlebih dahulu dan mengirimkannya.
Ternyata Michelle lupa mengungkapkan atas aset berupa satu unit rumah di Bandung dengan harga perolehan tahun 2016 sebesar Rp. 600.000.000,- dan ditemukan oleh Direktorat Jenderal Pajak maka apabila diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) pada tanggal 15 Februari 2023 dengan penghitungan sebagai berikut :
- harta yang tidak diungkap dalam SPPH akan dikenakan PPh yang bersifat final dengan tarif 30% dan menggunakan nilai Wajar wajar per 31 Desember 2020, misalkan Nilai Wajar atas aset rumah di Bandung adalah Rp. 1.000.000.000,- maka Rp. 1.000.000.000,- x 30% = Rp. 300.000.000,-
- sanksi administrasi berupa bunga : 1% x 2 bulan x Rp. 300.000.000,- = Rp. 6.000.000,-
- Jumlah yang maish harus dibayar dalam SKPKB adalah Rp. 306.000.000,-
Adapun jumlah bulan dalam pengenaan sanksi administratif tersebut dihitung sejak berakhirnya tahun pajak 2022 yakni tanggal 1 Januari 2023 sampai dengan saat diterbitkannya surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar yakni 15 Februari 2023, sehingga berjumlah 1 (satu) bulan 15 (lima belas) hari, dengan bagian bulan dihitung penuh menjadi 2 (dua) bulan. Asumsi Menteri Keuangan menetapkan tarid sanksi administratif berupa bunga berdasarkan Pasal 13 ayat (2) bulan Januari 2023 sebesar 1% (satu persen).
Penutup
Jika kita melihat secara keseluruhan PPS adalah suatu cara pemerintah memberi kesempatan, dimana ada manfaat yang akan diperoleh bagi Wajib Pajak, di antaranya, terbebas dari sanksi administratif dan perlindungan data bahwa data harta yang diungkapkan tidak dapat dijadikan sebagai dasar penyelidikan, penyidikan, dan/atau penuntutan pidana terhadap WP. Sebagaimana kita ketahui bahwasanya PPS diselenggarakan dengan asas kesederhanaan, kepastian hukum, dan kemanfaatan untuk meningkatkan kepatuhan sukarela WP sebelum penegakan hukum dilakukan dengan basis data dari pertukaran data otomatis (AEoI) dan data ILAP yang dimiliki DJP.
Salah satu pemberian kesempatan agar Wajib Pajak Orang Pribadi mengikuti program PPS dalam tulisan ini adalah Direktorat jenderal Pajak menunda pemeriksaan dan penyampaian Surat Pemberitahuan Pemeriksaan kepada Wajib Pajak sampai dengan 30 Juni 2021 kecuali berkaitan dengan permohonan pengembalian kelebihan pajak (restitusi), pemeriksaan yang mendekati daluarsa penetapan pajak, dan yang melakukan penutupan usaha atau meninggalkan Indonesia selama-lamanya. Juga memprioritaskan penyelesaian pemeriksaan Wajib Pajak Orang Pribadi sebagai dukungan agar dapat mengikuti PPS ini.
Sumber : www.nusahati.com