Tok… Tok…. Tok! Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan melalui Hakim ketua Agung Sutomo Thoba, S.H., M.H membacakan amar putusan  nomor 44/Pid.Sus/2023/PN JKT.SEL yang menyatakan Kim Nam Hee alias Nam Hee Kim alias David Kim warga negara Korea Selatan yang merupakan Direktur PT. CSI telah terbutki secara sah dan menyakinkan bersalah melakukan tindak pidana perpajakan yang dilakukan secara berlanjut dan menjatuhkan pidana penjara selama 1 (satu) tahun 8 (delapan) bulan serta pidana denda sebesar Rp. 2 x Rp. 5.0632.185.268,- atau sama dengan Rp. 10.124.370.536,- (finance.detik.com 18/04/2023).

Ini adalah salah satu rangkaian tindakan penegakan hukum yang dilakukan oleh jajaran Direktorat Jenderal Pajak khususnya dilingkungan Kantor Wilayah DJP Jakarta Khusus, manifestasi dari sinergitas antara Kepala Kepolisian Daerah metro Jaya, Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta, dan Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan.

Jika melihat mekanisme dari self assessment system yang dilakukan perpajakan Indonesia khususnya jenis pajak Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN), tindakan tersebut di atas adalah penerapan prinsip keadilan serta efek jera (deterrent effect) bagi Wajib Pajak, yang tentunya melalui mekanisme dan proses yang panjang.

Self Assessment System & Pemeriksaan

Karena Wajib Pajak diberikan kesempatan untuk mendaftar, menghitung, membayar, dan melaporkan kewajiban perpajakannya secara mandiri, maka dilakukanlah pengawasan oleh Direktorat Jenderal Pajak melalui Account Representative (AR) di Kantor Pelayanan Pajak terhadap Surat Pemberitahuan (SPT) yang telah dilaporkan. Apabila seorang AR melihat adanya ketidakwajaran dalam SPT yang disampaikan oleh Wajib Pajak tersebut maka dilakukanlah klarifikasi, bisa melalui media Surat Permintaan Penjelasan atas Data dan/atau Keterangan (SP2DK) hal ini sebagaimana diatur dalam  SE-05/PJ/2022 tentang Pengawasan Kepatuhan Wajib Pajak.

Atas SP2DK tersebut Wajib Pajak diberi kesempatan selama 14 (empat belas) hari untuk mempersiapkan dan menjelaskan atas data yang dimintakan klarifikasi bisa melalui tatap muka langsung, atau tatap muka melalui media audio visual atau secara tertulis. Apabila, Wajib Pajak tidak menyampaikan penjelasan maka akan dilakukan kunjungan (visit) ke tempat kegiatan usaha Wajib Pajak atau mengundang Wajib Pajak untuk menghadiri pembahasan. Adapun hasil dari tindakan pengawasan tersebut akan diperoleh simpulan berupa :

  • tidak ditemukan adanya indikasi dan modus ketidakpatuhan;
  • Wajib Pajak tidak ditemukan;
  • Wajib Pajak Orang Pribadi meninggal dunia atau telah meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya, atau Wajib Pajak badan telah dibubarkan;
  • Wajib Pajak tidak memberikan penjelasan atas Sp2DK;
  • Wajib Pajak menyampaikan penjelasan yang tidak sesuai hasil penelitian dan/atau tidak bersedia melakukan penyampaian/pembetulan SPT sesuai hasil penelitian;
  • Wajib Pajak menyampaikan penjelasan yang sesuai hasil penelitian dan/atau bersedia melakukan penyampaian/pembetulan SPT sesuai hasil penelitian;
  • Wajib Pajak menyampaikan penjelasan yang perlu untuk dilakukan validasi/konfirmasi atas kebenaran/keakuratannya melalui kegiatan penilaian untuk tujuan perpajakan;
  • Wajib Pajak memiliki data dan/atau status yang tidak sesuai dengan kondisi yang sebenarnya;
  • Wajib Pajak terindikasi melakukan pelanggaran terhadap ketentuan terkait layanan dan/atau fasilitas perpajakan yang diterima atau dimilikinya;
  • ditemukan adanya kesalahan dalam produk hukum berupa kesalahan tulis, kesalahan hitung, atau kekeliruan penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan perundang-undangan perpajakan;
  • Wajib Pajak sedang dilakukan pemeriksaan, telah dilakukan pemeriksaan, sedang dilakukan pemeriksaan bukti permulaan, atau sedang dilakukan penyidikan;
  • Wajib Pajak terindikasi melakukan tindak pidana perpajakan;

Atas simpulan tersebut di atas, yang terindikasi ketidakpatuhan maka direkomendasikan untuk dilakukan usul pemeriksaan. Sebagaimana kita ketahui tujuan dari pemeriksaan pajak adalah menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan/atau tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan perundang-undangan perpajakan.

Hal ini sesuai tata cara pemeriksaan yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan nomor 17/PMK.03/2013 s.t.d.t.d. PMK 184/PMK.03/2015, dimana pengertian pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data, keterangan, dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan suatu standar pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

Bukti Permulaan dan Penyidikan

Bukti Permulaan

Bukti permulaan adalah  keadaan, perbuatan, dan/atau bukti berupa keterangan, tulisan, atau benda yang dapat memberikan petunjuk adanya dugaan kuat bahwa sedang atau telah terjadi suatu Tindak Pidana di Bidang Perpajakan yang dilakukan oleh siapa saja yang dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara. Jadi, pemeriksaan bukti permulaan adalah pemeriksaan yang dilakukan untuk mendapatkan Bukti Permulaan tentang adanya dugaan telah terjadi Tindak Pidana di Bidang Perpajakan.

Sebagaimana kita ketahui, pemeriksaan bukti permulaan dilakukan sebelum penyidikan. Karena apabila Wajib Pajak dengan kemauan sendiri mengungkapkan dengan pernyataan tertulis mengenai ketidakbenaran perbuatannya disertai pelunasan kekurangan pembayaran julah pajak yang terutang beserta sanksi administratif maka tidak ditindaklanjuti dengan penyidikan. Pemeriksaan bukti permulaan dilaksanakan oleh Pejabat Penyidik PNS di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak.

Ketentuan tentang tata cara pemeriksaan bukti permulaan tindak pidana di bidang perpajakan diatur dengan Peraturan Kementerian Keuangan nomor 177/PMK.03/2022 tertanggal 30 Nopember 2022 yang berlaku sejak 1 Februari 2023, ketentuan ini menggantikan ketentuan-ketentuan  sebelumnya terkait pemeriksaan bukti permulaan tindak pidana di bidang perpajakan.

Penyidikan

Penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan adalah serangkaian tindakan yang dilakukan oleh penyidik untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana di bidang perpajakan yang terjadi serta menemukan tersangkanya. Dalam tahapan penyidikan umum (belum dilakukan penetapan tersangka) terlebih dahulu dilakukan penyerahan SPDP (Surat Pemeberitahuan Dimulainya Penyidikan) kepada Kejaksaan Penuntut Umum (Kejaksaan tinggi DKI Jakarta) melalui Ditreskrimsus Polda Metro sebagaimana diatur dalam Pasal 40 UU KUP dalam kasus di awal tulisan ada di wilayah Polda Metro.

Setelah Kejaksaan menerima SPDP, maka ditunjuk jaksa peneliti kasus penyidikan tindak pidana dibidang perpajakan tersebut. Setelah proses pengumpulan bukti melalui pemeriksaan saksi, keterangan ahli dan surat pemeriksaan bukti permulaan maka status penyidikan ditingkatkan ke penetapan tersangka. Penetapan tersangka melalui gelar perkara di Kantor Wilayah DJP Jakarta Khusus dan Ditreskrimsus Polda Metro.

Setelah gelar perkara maka diterbitkanlah Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) dan SPDP tersangka dengan menyebut nama tersangka oleh Kanwil DJP Jakarta Khusus yang dikirim ke Tersangka (melalui Penyidik PNS/PPNS Direktorat Jenderal Pajak) dan Ke Jaksa Penuntut Umum. Setelah dilakukan BAP Saksi dan Tenaga ahli, maka dilakukan tindakan penyitaan atas aset tersangka oleh PPNS yang bertujuan sebagai barang bukti dipengadilan. Adapun yang disita bukan sekedar aset saja melainkan, dokumen baik hardcopy, maupun dokumen digital.

Untuk menghindari tindakan melarikan diri ke Luar Negeri maka, PPNS sudah melakukan koordinasi dengan Ditjen Imigrasi melalui Kejaksaan Agung untuk melakukan tindakan pencekalan tersangka. Proses akhir, setelah pengumpulan bukti dirasa cukup, maka PPNS Ditjen Pajak mengirimkan berkas tersebut ke Kejaksaan Tinggi DKI tentu melalui Ditreskrimsus Polda Metro terlebih dahulu. Setelah diteliti oleh Jaksa Peneliti akan memberikan Surat P21 (pemberitahuan bahwa hasil penyidikan sudah lengkap)  dan barang bukti dan tersangka (P22 atau Penyerahan Tersangka dan barang Bukti) diserahkan ke Kejati.

Penyerahan tersangka dan barang bukti (P22) adalah akhir dari pekerjaan PPNS Ditjen Pajak, yang selanjutnya tersangka ditahan oleh Kejaksaan selama 20 hari dan bisa diperpanjang sampai 60 hari untuk kemudahaan sidang. Dan sebagaimana kita ketahui diawal tulisan telah dibacakan amar putusan diawal tulisan.

Pengemplang Pajak

Berdasarkan berita dari media finance.detik.com diatas, diketahui bahwasanya PT. CSI melakukan transaksi penjualan dalam hal ini penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) atau Jasa Kena Pajak (JKP) berupa produk dan jasa IT dimana atas penyerahan tersebut PT. CSI memungut PPN 10% dari Dasar pengenaan Pajak (DPP) untuk masa Februari s.d. Desember 2018 dan PT. CSI tersebut terbukti tidak menyampaikan SPT masa PPN dan tidak menyetorkan PPN yang dipungut tersebut ke Kas Negara. Sementara, dalam Pasal 39 ayat (1) huruf c UU Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan s.t.b.k.d.t.d. UU Nomor 7 Tahun 2021 yang menyatakan “ setiap orang yang dengan sengaja tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar dan paling banyak 4 (empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar.”

Dalam penjelasan dipertegas bahwasanya perbuatan atau tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat ini yang dilakukan dengan sengaja dikenai sanksi yang berat mengingat pentingnya peranan penerimaan pajak dalam penerimaan negara.

Tentunya PT. CSI dalam hal ini  Direktur harus bertanggungjawab dan masuk kategori pengemplang pajak, melihat tahapan-tahapan yang sudah dilakukan oleh jajaran Direktorat Jenderal Pajak yaitu  melalui SP2DK, Pemeriksaan/Penyidikan sebagaimana disebutkan di atas.

 Simpulan

Apa yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak sampai dengan dibacakan putusan oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri, adalah suatu proses yang panjang yang tidak viral dan terlupakan. Mulai dari berjalannya self assesment system, pengawasan oleh Account Representative, tindakan pemeriksaan bukti permulaan sampai proses P22 oleh PPNS Direktorat Jenderal Pajak.

Hal yang perlu, diketahui adalah ketentuan hukum dalam Undang-Undang di bidang perpajakan memiliki prinsip ultimum remedium yaitu  sanksi pidana merupakan sanksi terakhir dalam penegakan hukum. Hal ini tentu selaras dengan fungsi pajak yaitu menghimpun penerimaan. Gambaran ultimum remidium tersebut terlihat dalam  adanya kesempatan pembetulan SPT, pengungkapan ketidakbenaran SPT (sedang dalam proses pemeriksaan, pengungkapan ketidakbenaran SPT (telah diperiksa namun belum penyidikan), dan penyidikan (belum dilimpahkan ke pengadilan).

Sebagai penutup, apabila dalam waktu 1 (satu) bulan terdakwa tidak melakukan pembayaran sebagaimana putusan, maka Jaksa Penuntut Hukum akan melakukan sita terhadap aset (penyitaan jenis ini bukan dilakukan oleh PPNS Ditjen Pajak). Jika tidak didapatkan barang sitaan terhadap aset terdakwa maka putusan pidananya ditambah kurungan badan selama 3 (tiga) bulan

Sumber : https://nusahati.com/2023/04/pengemplang-pajak-semangat-ultimum-remedium/