Dalam tulisan terdahulu hal fundamental yang akan dilakukan kaitannya dengan perpajakan adalah penurunan tarif PPh badan yang dilakukan secara bertahap. Demikian pula penghapusan PPh atas dividen dari dalam dan luar negeri, sebagaimana kita ketahui terdapat batasan dimana kepemilikan sama dengan atau lebih dari 25% (>25%), tidak dikenai Pph. WP Badan DN dengan kepemilikan kurang dari 25% (< 25%) dikenai PPh tarif normal. Indonesia juga berencana melakukan perubahan sistem pajak dari worldwide menjadi teritorial untuk WP OP baik domestik dan subjek pajak luar negeri.
Beberapa hal lainnya yang merupakan kebijakan fundamental yang rencananya dibingkai dalam RUU tentang ketentuan dan fasilitas perpajakan untuk penguatan ekonomi diantaranya adalah sebagaimana diuraikan dalam tulisan berikut ini.
Relaksasi Sanksi Administratif
Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan sanksi 2% per bulan yang berlaku saat ini sangat memberatkan wajib pajak karena secara akumulasi nilainya melebihi suku bunga konvensional di lembaga keuangan. Rencananya tarif sanksi akan diturunkan menjadi 1%. Adapun tujuannya adalah kepatuhan pajak jadi jauh lebih mudah dan lebih logis untuk patuh dibanding kalau mereka tidak patuh. Adapun beberapa rancangan terkait relaksasi ini adalah :
a. Sanksi dalam Pembetulan SPT
Sanksi berupa bunga atas kekurangan bayar karena pembetulan SPT Tahunan atau SPT masa dari semula 2%, formulanya diubah dengan mempertimbangan suku bunga acuan ditambah 5% dibagi 12. Dengan perubahan skema itu, sanksi yang akan ditanggung wajib pajak, jika suku bunga acuan yang sekarang berlaku yakni 5,5% (5,5%+5%):12, sanksi atas kekurangan bayar karena pembetulan SPT yang harus dibayar wajib pajak sebesar hanya 0,8% per bulan atau kurang dari 10% per tahun. Lebih rendah dibandingkan dengan ketentuan sebelumnya sebanyak 24% per tahun.
b. Sanksi dalam Surat Ketetapan Pajak
Mekanisme yang sama juga berlaku bagi sanksi kurang bayar atas penetapan surat ketetapan pajak (SKP) dari semula 2%, dalam rencana pengaturan yang baru besarannya ditentukan berdasarkan suku bunga acuan ditambah 10% kemudian dibagi 12.
Karena suku bunga acuan sebagai komponen menghitung sanksi, besaran sanksinya bisa berubah, tergantung besar kecilnya suku bunga yang berlaku. Maka, pengitungan sanksi serta untuk memberi kepastian kepada wajib pajak, penetuan besaran bunga dan denda (sanksi) akan ditetapkan melalui Keputusan Menteri Keuangan (KMK) dengan mengacu referensi suku bunga yang berlaku umum.
c. Sanksi bagi Pengusaha Kena Pajak (PKP)
Bagi pegusaha kena pajak (PKP) yang tidak membuat faktur pajak atau membuat faktur pajak tidak tepat waktu sanksinya juga diturunkan dari 2% menjadi 1% dari dasar pengenaan pajak. Demikian halnya PKP yang tidak lapor usaha untuk dikukuhkan menjadi PKP. Jika sebelumnya, tak dikenakan sanksi, pengaturan ke depannya dikenakan sanksi 1% atas dasar pengenaan pajak.
Relaksasi Jenis Pajak Pajak Pertambahan Nilai
Pemerintah akan membuka ruang bagi pelaku usaha untuk bisa melakukan pengkreditan atas barang yang dikecualikan atau bukan merupakan objek pajak. Pengkreditan pajak masukan terutama bagi pengusaha kena pajak yang selama ini, barang yang dihasilkan tidak dibukukan sebagai obyek pajak (negatif list, tidak terutang, dibebaskan). Pajak masukan yang tadinya tidak bisa dikreditkan menjadi bisa dikreditkan.
Reformasi Perpajakan atas Regulasi
Reformasi perpajakan dari sisi regulasi akan menempatkan seluruh fasilitas insentif perpajakan dalam satu aturan tersendiri. Fasilitas sepertitax holiday, super deduction, fasilitas PPh untuk KEK, dan PPh untuk SBN di pasar internasional memiliki landasan hukum yang kuat dan dalam implementasinya dapat dilakukan secara konsisten.
Raksasa Digital menjadi Subjek Pajak
Pemerintah akan menjawab tantangan ekonomi digital seperti Google, youtube, facebook dan Amazon dengan membuat aturan main yang memungkinkan pemain raksasa digital tersebut dapat menjadi subjek pajak. Dengan demikian, perusahaan digital tersebut mempunyai kewajiban memungut pajak dan menyetornya ke kas negara. Instrumen PPN menjadi pintu masuk negara dalam memajaki entitas digital. Dengan RUU ini, ditetapkan bahwa mereka perusahaan digital internasional, Google, Amazon, mereka bisa memungut, menyetor, dan melaporkan PPN. Ini supaya tidak ada penghindaran pajak karena mereka tahu berapa jumlah volume kegiatan ekonominya. Tarif sama, 10%.
Aturan main ini diharapkan menjadi payung hukum yang efektif agar Google cs dapat dipajaki meskipun tidak berstatus Bentuk Usaha Tetap (BUT) dengan menggunakan skema yang disebut Significant Economic Present (SEP). Skema ini sejatinya sudah digunakan oleh beberapa negara bagian Amerika Serikat (AS) untuk menghadapi penghindaran pajak berganda. Pemerintah Indonesia, pun mencoba melakukan hal serupa untuk memajaki Google Cs.
Aturan Terkait Bentuk Usaha tetap
Bentuk Usaha Tetap (BUT) akan diubah dan tidak kaku terkait syarat mutlak untuk bisa menjadi BUT harus dengan kehadiran fisik. Aspek nilai tambah ekonomi yang dihasilkan atau significant economic presence juga akan dihitung sebagai komponen pembentuk BUT. Objek pajak dari BUT tersebut diperluas menjadi tiga aspek, yaitu :
- penghasilan dari usaha atau kegiatan BUT dan dari harta yang dimiliki (atribusi faktual).
- penghasilan kantor pusat dari aktivitas usaha, penjualan barang, dan pemberian jasa di Indonesia dan dilakukan oleh BUT di Indonesia (force of attraction).
- penghasilan baik berupa penghasilan pasif seperti dividen maupun royalti hingga penghasilan dari transaksi ekonomi digital, sepanjang terdapat hubungan efektif antara BUT dengan penghasilan tersebut (atribusi karena hubungan efektif).
Terkait perluasannya, kita tunggu bersama. Apakah terkait jenis penghasilan kategori force of attraction mengharuskan barang yang sejenis atau tidak.
… Loading
Sumber : www.nusahati.com